Rabu, 11 April 2012

Download Gratis Contoh Makalah Pendidikan: Makalah Manajemen Kewirausahaan

Download Gratis Contoh Makalah Pendidikan: Makalah Manajemen Kewirausahaan: Sejarah kewirausahaan menunjukkan bahwa Wirausahawan mempunyai karakteristik umum serta berasal dari kelas yang sama. Para pemula revolu...

rachmaa: perilaku keorganisasian

rachmaa: perilaku keorganisasian: MANAJEMEN C2 BAHAN AJAR PERILAKU KEORGANISASIAN ...

perilaku keorganisasian


MANAJEMEN C2


BAHAN AJAR
PERILAKU KEORGANISASIAN







TriDharmaNusantara.jpg













ANDI MAKKULAWU, SE.M.Si
STIE TRI DHARMA NUSANTARA
MAKASSAR 2012

Individu Kelompok Dan Organisasi
                Teori atau ilmu perilaku organisasi (Organization Behavior) pada hakikatnya mendasarkan kajiannya pada ilmu perilaku itu sendiri (akar ilmu psikologi) yang dikembangkan dengan pusat perhatiannya pada tingkah laku manusia dalam organisasi. Dengan demikian kerangka dasar teori perilaku organisasi ini didukung oleh dua komponen pokok, yakni individu-individu yang berperilaku dan organisasi formal sebagai wadah dari perilaku tersebut.
                Jadi, perilaku organisasi adalah studi yang menyangkut aspek-aspek tingkah laku manusia dalam organisasi atau dalam suatu kelompok tertentu. Aspek pertama meliputi pengaruh organisasi terhadap manusia sedang aspek kedua pengaruh manusia terhadap organisasi. Pengertian ini sesuai rumusan Kelly dalam buku Organizational Behavior yang menjelaskan bahwa perilaku organisasi di dalamnya terdapat interaksi dan hubungan antara organisasi di satu pihak dan perilaku individu di lain pihak. Kesemuanya ini memiliki tujuan praktis yaitu untuk mengarahkan perilaku manusia itu kepada upaya-upaya pencapaian tujuan.

Ruang Lingkup Perilaku Organisasi
                Perilaku organisasi sesungguhnya terbentuk dari perilaku-perilaku individu yang terdapat dalam organisasi tersebut. Oleh karena itu sebagaiman telah disinggung diatas – pengkajian masalah perilaku organisasi jelas akan meliputi atau menyangkut pembahasan mengenai perilaku individu. Dengan demikian dapat dilihat bahwa ruang lingkupp kajian ilmu perilaku hanya terbatas pada dimensi internal dari suatu organisasi. Dalam kaitan ini aspek-aspek yang menjadi unsur-unsur, komponen atau sub sistem dari ilmu perilaku organisasi antara lain adalah : motivasi, kepemimpinan, stress atau konflik, pembinaan karir, masalah sistem imbalan, hubungan komunikasi, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, produktivitas dan atau kinerja (performance), kepuasan, pembinaan dan pengembangan organisasi (organizational depelovment), dan sebagainya.
                Sementara itu aspek-aspek yang merupakan dimensi eksternal organisasi seperti faktor ekonomi, politik, sosial, perkembangan teknologi, kependudukan dan sebagainya, menjadi kajian dari ilmu manajemen strategik (strategic management). Jadi, meskipun faktor eksternal ini juga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan organisasi dalam mewujudkan visi dan misinya, namun tidak akan dibahas dalam konteks ilmu perilaku organisasi.
                Meskipun unsur-unsur, komponen atau sub sistem yang akan dibahas bija jadi telah banyak dipelajari pada displin ilmu yang lain, namun Mata Kuliah Perilaku Organisasi akan mencoba menjawab, mengapa berbagai unsur atau komponen tadi dapat membentuk karakter, sikap, dan atau perilaku individu dalam kapasitasnya sebagai anggota suatu organisasi. Oleh karena itu, bobot atau muatan materinya akan diusahakan agar memiliki sisi empiris yang cukup memadai. Untuk kepentingan ini, maka pada session pembahasan akan diupayakan untuk dilengkapi dengan kasus-kasus yang relevan sebagai instrumen untuk lebih memudahkan dalam memahami perilaku organisasi.

Pendekatan Dalam Perilaku Organisasi
                Dengan adanyan interaksi atau hubungan antar individu dalam organisasi, maka penelaahan terhadap perilaku organisasi haruslah dilakukan melalui pendekatan-pendekatan sumber daya manusia (supportif), pendekatan kontigensi, pendekatan produktivitas dan pendekatan sistem. Pendekatan sumber daya manusia dimkasudkan untuk menbantu pegawai agar berprestasi lebih baik, menjadi orang yang lebih bertanggung jawab, dan kemudian berusaha menciptakan suasana dimana mereka dapat menyumbang sampai pada batas kemampuan yang mereka miliki, sehingga mengarah kepada peningkatan keefektifan pelaksanaan tugas. Pendekatan ini juga berarti bahwa orang yang lebih baik akan mencapai hasil yang lebih baik pula, sehingga pendekatan ini disebut pula pendekatan supportif.
                Sementara itu, pendekatan kontigensi mengandung pengertian bahwa adanya lingkunagn yang berbeda menghendaki praktek perilaku yang berbeda pula untuk mencapai keefektifan. Disini pandangan lama yang mengatakan bahwa prinsip-prinsip manajemen bersifat universal dan perilaku dapat pula berlaku dalam situasi apapunk tidak dapat diterima sepenuhya.
                Disisi lain, pendekatan produktivitas dimaksudkan sebgai ukuran seberapa efisien suatu organisasi dapat menghasilkan keluaran yang diinginkan. Jadi, produktivitas yang lebih baik merupakan ukuran yang berniali tentang sberapa baik penggunaan sumber daya dalam masyarakat.
                Dalam hal ini perlu diingat bahwa konsep produktvitas tidak hanya diukur dalam kaitannya dengan masukan dan keluaran ekonomis, tetapi masukan manusia dan sosial juga merupakan hal yang penting. Dengan demikian, apabila perilaku organisasi yang lebih baik dapat mempertinggi kepuasan kerja, maka akan dihasilkan keluaran manusia yang baik pula, dan pada akhirnya akan menghasilkan produktivitas pada derajat yang diinginkan.
                Adapun pendekatan sistem terutama diterapkan dalam sistem sosial, dimana di dalamnya terdapat seperangkat hubungan manusia yang rumit yang berinterkasi dlam banyak cara. Ini berarti, dalam mengambil keputusan para manager harus mengkaji hal-hal di luar situasi langsubg untuk menentukan dampaknya terhadap sistem yang lebih besar, sehingga memerlukan analisis biaya dan manfaat (cost – benefit analysis).
                Antara pendekatan sumber daya manusia dengan pendekatan produktivitas di atas memilki kaitan yang sangat erat, dimana adanya dorongan pimpian terhadap karyawan untuk melakukan tugasnya sebaik mungkin, secara langsung akan mendorong tingkat produktivitas organisasi.

Motivasi dan Kepemimpinan
                Kebutuhan atau keinginan seorang pekerja terhadap sesuatu hal tertentu akan diusahakn untuk bisa dicapainya, dalam kajian ilmu administrasi sering disebut dengan istilah motivasi. Motivasi adalah proses psikologis yang merupakan salah satu unsure pokok dalam perilaku seseorang. Sebagaimana dikemukakan Miftah Thoha, perilaku seseorang itu sebenarnya bisa dikaji sebgai saling berinteraksinya atau ketergantungannya unsure-unsur yang merupakan suatu lingkaran. Unsur-unsur itu secara pokok terdiri dari motivasi dan tujuan. Atau menurut Fred Luthans, terdiri dari tiga unsur yakni
1.       kebutuhan (needs)
2.       dorongan (drive)
3.       tujuan (goals).
                Dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan organisasi, salah satu aspek organisasi yang penting disamping motivasi, adalah kepemimpinan (leadership).
                Bagi sebuah organisasi, kepemimpinan jelas sekali mempunyai peran yang sangat penting. Sebab, adanya kepemimpian berarti terjadinya proses membantu dan mendorong orang lain untuk bekerja dengan antusias mencapai tujuan. Jadi, faktor manusia atau pimpinanlah yang mempertautkan kelompok dan memotivasinya untuk mencapai tujuan, atau kepemimpinan juga mengubah yang tadinya hanya kemungkinan menjadi kenyataan.
                Seorang pemimpin yang menjalankan fungsi kepemimpinannya dengan segenap filsafat, keterampilan dan sikapnya, secara keseluruhan dipersepsikan oleh karyawannya sebagai gaya kepemimpinan (leadership style). Gaya tersebut bisa berbeda-beda atas dasar motivasi, kuasa ataupun orientasi terhadap tugas atau orang tertentu.
                Diantara gaya kepemimpianan, terdapat pimpinan yang negatif dan positif, dimana perbedaan itu didasarkan pada cara dan upaya mereka memotivasi karyawan. Apabila pendekatan dalam pemberian motivasi ditekankan pada imbalan atau reward (baik ekonomis maupun non ekonomis), berarti telah digunakan gaya kepemimpinan yang positif.
                Sebaliknya, jika pendekatannya ditekankan pada hukuman atau punishment, berarti dia menerapkan gaya kepemimpinan negative. Pendekatan kedua ini dapat menghasilkan prestasi yang diterima dalam banyak situasi, tetapi menimbulkan kerugian manusiawi.
                Selain gaya kepempinan di atas, terdapat gaya lainnya yaitu gaya otokratik, partisipatif, dan bebas kendali (free rein atau laissez faire). Pemimpin otokratik memusatkan kuasa dan pengambilan keputusan bagi dirinya sendiri, dan menata situasi kerja yang rumit bagi pegawai sehingga mau melakukan apa saja yang diperintahkannya. Kepemimpinan ini pada umumnya negatif, yang berdasarkan atas ancaman dan hukuman.
                Sementara itu, pemimpin partisipatif lebih banyak mendesentralisasikan wewenang yang dimilikinya sehingga keputusan yang diambil tidak bersifat sepihak. Adapun pemimpin bebas kendali menghindari kuasa dan tanggung jawab, kemudian menggantungkan pada kelompok baik dalam menetapkan tujuan dan menanggulangi masalahnya sendiri. Diantara ketiganya, kecenderungan umum yang terjadi adalh ke arah penerapan praktek partisipasi secara lebih luas karena dianggap paling konsisten dengan perilaku organisasi yang supportif.

Aspek-Aspek Lain Dalam Perilaku Organisasi
                Selain masalah motivasi dan kepemimpinan, ilmu perilaku organisasi mengkaji juga beberapa aspek strategis dalam organisasi dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, komunikasi, stress dan konflik, produktifitas dan atau kinerja, dan sebagainya. Keseluruhan aspek ini selalu terkait dengan masalah perilaku manusia dalam organisasi, sehingga aspek-aspek strategis itupun akan sangat tergantung kepada proses pembentukan perilaku maupun baik buruknya perilaku manusia itu sendiri.
                Dalam proses pengambilan keputusan misalnya, ternyata dalam setiap tahapnya akan terdapat perilaku orang yang beraneka ragam, dari yang pendiam dan menyerahkan sepenuhnya kepada orang lain, monopoli dan ingin memaksakan kehendak, sampai dengan sikap sok-sok tahu atau menyembunyikan informasi.
                Dalam proses pengambilan keputusan pada khususnya dan dalam setiap aktivitas organisasional pada umumnya, akan terjalin suatu hubungan interpersonal atau komunikasi antar anggotanya. Sebagaimana halnya pada proses pengambilan keputusan maka proses komunikasipun sering menghadapi kegagalan dan hambatan yang bersumber dari sikap dan perilaku orang yang berbeda-beda, seperti sikap asertif, non asertif, atau bahkan agresif.
                Kondisi-kondisi tidak berjalannya proses-proses keorganisasian seperti yang diharapkan ini pada gilirannya akan dapat menimbulkan stress pada anggota organisasi, sekaligus membawa kemungkinan munculnya konflik baik- dalam pengertian yang positif maupun yang negatif.

Definisi Organisasi
                Organisasi dalam pandangan beberapa pakar seolah-olah menjadi suatu “binatang” yang berwujud banyak, namun tetap memilki kesamaan konseptual. Atau dengan kata lain, rumusan organisasi sangat tergantung pada konteks dan perspektif tertentu dari seseorang yang merumuskan tersebut. Dari beberapa definisi atau pembatasan mengenai organisasi ini, dapat dikemukakan sbb:
a.       Oraganisasi merupakan suatu pola kerjasama antara orang-orang yang terlibat dalam kegiatan yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan tertentu. Wexlwy and Yulk (dalam Kasim, 1993 : 1)
b.      Organisasi adalah sekelompok orang yang terbiasa mematuhi perintah para pimpinannya dan yang tertarik pada kelanjutan dominasi partisipasi mereka dan keuntungan yang dihasilkan, yang membagi diantara mereka praktek-praktek dari fungsi tersebut yang siap melayani untuk praktek mereka (Max Weber, dalam Miftah thoha, 1988)
c.       Organisasi dapat didefinisikan sebagai struktur hubungan kekuasaan dan kebiasaan orang-orang dalam suatu sistem administrasi (Dwight Waldo, dalam Thoha, 1988)
d.      Organisasi adalah suatu sistem dari aktivitas-aktivitas orang yang terkoordinasikan secara sadar, atau kekuatan-kekuatan dari dua orang atau lebih (Chester Barnard, dalam Thoha, 1992)
e.      Organisasi adalah lembaga sosial dengan cirri-ciri khusus : secara sadar dibentuk pada suatu waktu tertentu, para pendirinya mencanangkan tujuan yang biasanya digunakan sebagai simbol legitimasi, hubungan antara anggotanya dan sumber kekuasaan formal ditentukan secara relatif jelas walaupun seringkali pokok pembicaraan dan perencanaan diubah oleh para anggota-anggotanya yang membutuhkan koordinasi dan pengawasan (Silverman, dalam Thoha, 1988)
f.        Organisasi adalah suatu kesatuan (entity) social yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasikan, yang bekerja atas dasar yang relatif terus-menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan (Stephen P. Robbins)
g.       Organisasi sebagai suatu kesatuan sosial dari kelompok manusia yang saling berinteraksi menurut suatu pola tertentu sehingga setiap anggota organisasi memilki fungsi dan tugasnya masing-masing yang sebagai suatu kesatuan mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai batas-batas yang jelas, sehingga bisa dipisahkan secara tegas dari lingkungannya (Hary Lubis dan Martani Huseini, 1987 : 1)
h.      Organisasi merupakan suatu alat untuk pencapaian tujuan dari orang-orang yang berada diluar organisasi tersebut, sebagai alat untuk pencapaian tujuan.

Dari beberapa penegrtian diatas dapat disimpulkan bahwa organisasi sesungguhnya merupakan kumpulan manusia yang diintegrasikan dalam suatu wadah kerjasama untuk menjamin tercapainya tujuan-tujan yang ditentukan. Atau menurut Sudarsono Hardjosoekarto, pengertian yang dapat menyamakan persepsi tentang organisasi adalah bahwa organisasi merupakan jalinan kontrak (a nexus of contracts).
Sedangkan hal yang membedakan organisasi yang satu dengan oragnisasi yang lainnya dalam kerangka teori Mc. Kinsey, adalah structure, strategy, style (leadership), skill, staff, share value, dan system. Dalam hal struktur, beberapa organisasi lebih senang  memilih tipe garis  atau lini, sementara organisasi lain memilih tipe garis dan staf, tipe kepanitian, atau tipe fungsional. Dalam aspek strategi, ditemukan perbedaan menngenai pencapaian tujuan organisasi dalam jangka panjang dan jangka pendek. Kemudian dalam aspek gaya kepemimpinan atau style, ada pemimpinan  organisasi yang menonjolkan sifat-sifat karismatik, otoriter, partisipatif demokratik, dan sebagainya.
Selanjutnya dalam aspek keahlian, jelas bahwa setiap organisasi akan membutuhkan keahlian yang spesifik sesuai dengan misi dan tujuan yang akan diraihnya. Begitu juga dalam aspek staf, organisasi yang bergerak dibidang pengantaran (delivery) misalnya, akan sangat berbeda kualifikasi staffnya disbanding dengan organisasi konsultansi. Sedangkan aspek share value maksudnya bahwa seluruh aspek yang telah disebutkan di atas, pada akhirnya difokuskan kepada superordinate goals, atau tujuan organisasi yang lebih tinggi. Dalam kaitan ini, jelas bahwa tujuan yang lebih tinggi dari setiap organisasi akan berbeda-beda pula.
Dari beberapa pengertian tentang organisasi tersebut di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa cakupan organisasi tidak hanya meliputi bentuk-bentuk kelembagaan formal seperti pemerintah maupun organisasi bisnis, tetapi lebih dari itu juga meliputi setiap kontrak (perjanjian) yang terjadi antara dua orang / pihak atau lebih. Atau dengan kata lain, organisasi tidak hanya diartikan sebagai wujud saja tetapi juga sebagai proses interaksi berbagai pihak.

Pendekatan Terhadap Organisasi
Cakupan teori organisasi sesungguhnya sangat luas, sehingga tidak mengherankan jika studi mengenai organisasi dapat dilakukan menurut berbagai sudut pandang yang berbeda. Sebagai konsekuensinya, kemudian muncullah bermacam-macam pendekatan dalam teori organisasi, yang masing-masing sangat dipengaruhi oleh cara yang digunakan untuk meninjau masalah organisasi. Keseluruhan pendekatan ini, paling tidak dapat dipisahkan menjadi tiga macam yaitu pendekatan klasik, pendekatan neo klasik, dan pendekatan modern.
Pendekatan klasik yang diilhami oleh konsep Taylor pada tahun 1919, mengajarkan bahwa dalam suatu organisasi perlu diadakan pembatasan secara tegas antara kegiatan pelaksanaan dan operasional dengan tugas-tugas manajerial. Dengan kata lain, para pekerja seperti tukang-tukang atau operator mesin hanya bertugas sebagai pelaksana saja, sementara tugas untuk merencanakan metode kerja, pengorganisasian atau pengkoordinasian selalu dilakukan oleh pihak manajemen.
Adapun pendekatan modern secara tegas menyatakan bahwa yang dimilki saat ini bukanlah mengenai teori organisasi tetapi cara berfikir  (way of thingking) mengenai organisasi, cara melihat dan menganalisa secara lebih tepat dan mendalam yang dilakukan melalui keteraturan (regularitas) perilaku orgnisasi, yang hanya berlaku untuk suatu lingkungan atau kondisi tertentu. Dengan demikian kumpulan fakta bukanlah organisasi. Input yang diberikan oleh organisasi seringkali sumbernya dikuasai oleh organisasi lain yang terdapat pada lingkungannya, sehingga organisasi terpaksa mempunyai ketergantungan sumber terhadap lingkungannya. Jika tingkat ketergantungan ini tidak terlalu besar seperti yang terjadi pada lingkungan Tenang – Acak maka organisasi tidak perlu terlalu memperhatikan lingkungannya dan dapat memusatkan perhatiannya terhadap kegiatan produksi.

Karakteristik Organisasi : Mekanik dan Organik
Sesaat setelah individu-individu membentuk kelompok dan bersepakat membentuk organisasi, maka pada tahap selanjutnya, sekumpulan orang ini memberikan karakteristik, bentuk dan sifat kepada organisasi yang menampung mereka. Dalam kaitan ini, secara umum bentuk organisasi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu organisasi mekanik dan organic. Sedangkan dilihat dari sifatnya, organisasi dapat dikelompokkan menjadi organisasi dengan sistem tertutup (close system) dan organisasi bersistem terbuka (open system).
Paradigma mekanik (mechanism paradigm) menganggap organisasi sebagai suatu mesin  yang bekerja dengan suatu keteraturan dan keajegan tertentu yang menekankan adanya suatu tingkat produktivitas tertentu, yang ingin dicapai taraf efisiensi tertentu, dan yang dikendalikan oleh suatu legitimasi otoritas pimpinan (Thoha, 1988 : 133). Dalam model organisasi mekanik ini tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif dan effisien melalui mekanisme pembagian kerja, spesialisasi dan hubungan kerja yang hierarkhis.
Ajaran ini terutama banyak dikembangkan dari pandangan Adam Smith dan Frederick Taylor yang mengusulkan adanya pembagian efisien dari tenaga kerja melalui hierarki vertikal (Obolensky, 1996 : ix-x). dengan kata lain, menurut paradigma mekanik – efesiensi dalam organisasi dapat ditingkatkan hanya apabila terdapat penegrangkaan (structuring) dan pengendalian (controlling) terhadap partisipasi anggota organisasi.
Sebaliknya paradigma organic (organism paradigm) memandang organisasi sebagai suatu sistem yang menekankan pada unsure manusia sebagai pelaku utama. Dalam model organisasi ini, efisiensi dan efektivitas bukan merupakan aspek utama dalam pencapaian tujuan organisasi, sebab produk (output) tidak dipandang sebagai hal yang utama. Aspek yang dianggap lebih penting dalam organisasi model organik ini adalah adanya keseimbangan antara faktor manusia dengan faktor lingkungannya.
Dikaitkan dengan sifat organisasi, maka pada paradigma mekanik, organisasi lebih menganut sistem tertutup (close system), dimana organisasi dilihat sebagai suatu kesatuan yang merdeka serta tidak ada ikatan dengan variable-variabel lainnya (Thoha, 1988 : 133). Dengan demikian jika muncul berbagai persolan maka faktor penyebab serta metode pemecahannya selalu dikembalikan pada internal faktor seperti susunan organisasi, tugas pokok dan fungsi, atau hubungan formal sedangkan faktor-faktor lingkungan diluar organisasi (external factors) yang mempunyai kontribusi juga terhadap munculnya persoalan tersebut, justru tidak diperhitungkan.
Selama ini paradigma organisasi mekanik banyak diterapkan pada sistem kelembagaan pemerintah yang antara lain mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.       Adanya spesialisasi tugas
2.       Mengutamakan sarana dan pertanggungjawaban
3.       Inisiatif penyelesaian konflik di dalam organisasi berasal dari atasan
4.       Interaksi antar anggota organisasi cenderung vertical dengan
5.       Gaya yang diarahkan untuk mencapai kepatuhan
6.       Kentalnya sistem komando dan hubungan struktural antara atasan dengan bawahan
Dengan ciri-ciri demikian model organsasi mekanik juga disebut sebagai model birokratis, yang menurut Weber justru merupakan tipe ideal dari organisasi (Thoha, 1988 : 138).
Pada suatu milieu masyarakat dengan tingkat kehidupan yang relatif statis atau pada suatu lingkungan yang belum banyak menerima arus perubahan dari lingkungan sekitarnya, maka tipe organisasi ini dapat berjalan dengan baik serta dapat menjadi instrumen yang efektif dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Akan tetapi pada masyarakat yang tingkat kehidupannya tinggi dan dinamis serta banyak berinteraksi dengan kelompok-kelompok lainnya yang seringkali lebih besar, maka sifat-sifat dan ciri-cirinya yang kaku jelas tidak dapat dipertahankan lagi. Model organisasi mekanik ini banyak berpengaruh terhadap administrasi Negara khususnya di Negara-negara sedang berkembang sebab organisasi di lingkungan pemerintahan bercirikan model organisasi birokrasi yaitu stuktur organisasi tipikal yang berusaha mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan manusia di dalam suatu organisasi (Bennis dalam Thoha, 1988 : 151)

Tipe-tipe organisasi
Tipe atau bentuk organisasi yang kita saksikan selama ini sangat bervariasi dan berbeda-beda tergantung dari aspek atau sudut pandang masing-masing. Dari sisi kepemilikan dan pengelolanya terdapat organisasi swasta dan organisasi pemerintah. Dilihat dari bidang kegiatannya dapat dibedakan antara organisasi politik, sosial, pemuda, dll.
Akan tetapi, berdasarkan tinjauan dari segi wewenang, tanggung jawab, serta hubungan kerja dalam organisasi dapat dikemukakan adanya empat tipe atau bentuk organisasi yaitu:
1.       Organisasi Garis (line organization) adalah tipe organisasi yang tertua dan paling sederhana, dimana tugas-tugas perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan berada di satu tangan dan garis kewenangan langsung dari pimpinan kepada bawahannya
2.       Organisasi garis dan staff (line and staff organization), tipe ini biasanya digunakan untuk organisasi yang besar, daerah kerjanya luas dan mempunyai bidang-bidang tugas yang beraneka ragam atau rumit
3.       Organisasi panitia (committee organization), ciri-ciri dari organisasi ini antara lain memiliki tugas tertentu dan jangka waktu berlakunya terbatas
4.       Organisasi fungsional (functional organization) adalah organisasi yang disusun berdasarkan sifat dan macam fungsi yang harus dilaksanakan
Asas-asas Pengorganisasian Kelembagaan
Untuk dapat mencapai tujuannya secara berhasilguna dan berdayaguna maka suatu organisasi perlu menerapkan asas-asas tertentu dalam pengorganisasian kelembagaannya. Adapun asas-asas kelembagaan yang perlu dipertimabngkan dalam suatu organisasi (khususnya di lingkungan aparatur pemerintah), secara lengkap dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.       Asas pemabgian tugas
Suatu instansi dapat melaksanakan sendiri tugas yang menjadi tanggung jawabnya tanpa adanya kerjasama dengan instansi lain yang terkait. Sesuai dengan asas ini maka perlu adanya perumusan tugas yang jelas sehingga dapat dicegah duplikasi, benturan dan kekaburan.
2.       Asas fungsionalisasi
Pada gilirannya asas ini akan menentukan mekanisme koordinasi dalam arti bahwa instansi atau satuan kerja yang secara fungsional paling bertanggungjawab tersebut berkewajiban untuk memprakarsainya.
3.       Asas koordinasi
Asas ini menekankan agar dalam penyusunan kelembagaan memungkinkan terwujudnya koordinasi yang mantap dalam pelaksanaan tugas-tugasnya.
4.       Asas kesinambungan
Asas kesinambungan mengharuskan adanya institusialisasi dalam pelaksanaan dalam arti bahwa tugas-tugas (tugas umum pemerintahan dan pembangunan) harus berjalan secara terus menerus sesuai dengan kebijaksanaan dan program yang telah ditetapkan tanpa tergantung pada diri pejabat / pegawai tertentu.
5.       Asas keluwesan
Asas keluwesan menghendaki agar organisasi selalu mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan keadaan sehingga dapat dihindari kekakuan dalam pelaksanaan tugasnya.
6.       Asas akordion
Asas akordion menentukan bahwa organisasi dapat berkembang atau mengecil sesuai dengan tuntutan tugas dan beban kerjanya. Namun demikian pengembangan / penciutan suatu organisasi tidak boleh menghilangkan fungsi yang ada.
7.       Asas pendelegasian wewenang
Asas ini menentukan tugas-tugas yang perlu didelegasikan dan tugas-tugas yang masih harus dipegang pimpinan. Sebagai konsekuensi dari asas pelimpahan wewenang tersebut maka setiap unit yang menerima pelimpahan tersebut harus mampu melaksanakan wewenang dan tugas-tugas yang dilimpahkan.
8.       Asas rentang kendali
Dalam asas rentang kendali ini dimaksudkan agar dalam menentukan jumlah satuan organisasi atau orang yang dibawahi oleh seorang pejabat pimpinan, diperhitungkan secara rasional mengingat terbatasnya kemampuan seorang pimpinan / atasan dalam mengadakan pengendalian terhadap bawahannya.
9.       Asas jalur dan staff
Agar terdapat kejelasan antara tugas pokok dan penunjang maka dalam pengorganisasian kelembagaan aparatur pemerintah digunakan asas jalur dan staff. Asas jalur dan staff adalah asas yang menentukan bahwa dalam penyusunan organisasi perlu dibedakan antara satuan-satuan organisasi yang melaksanakan tugas pokok instansi dengan satuan-satuan yang melaksanakan tugas-tugas penunjang.
10.   Asas kejelasan dalam pembaganan
Asas kejelasan dalam pembaganan mengharuskan setiap organisasi menggambarkan susunan organisasinya dalam bentuk bagan, agar setiap pihak yang berkepentingan dapat segera memahami kedudukan dan hubungan dari setiap satuan organisasi yang ada.

Pengertian motivasi
                Salah satu tantangan yang dihadapi oleh pimpinan dalam organisasi adalah bagaimana mereka dapat menggerakkan para pegawainya agar mau dan bersedia mengerahkan kemampuan terbaiknya untuk kepentingan organisasi. Untuk itu, seorang pimpinan harus selalu dapat memelihara semangat, kesadaran dan keseungguhan dari karyawannya untuk terus menunjukkan kinerja yang optimal. Dengan kata lain, salah satu tantangan berat dari organisasi adalah bagaimana motivasi karyawan dapat tumbuh dan terbina dengan baik.
                Istilah motivasi sendiri secara taksonomi berasal dari kata latin “movere” yang artinya bergerak. Adapun beberapa definisi tentang motivasi dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.       Motivasi adalah proses pengembangan dan pengarahan perilaku atau kelompok, agar individu atau kelompok itu menghasilkan keluaran (output) yang diharapkan sesuai dengan sasaran atau tujuan yang ingin dicapai organisasi (Ensiklopedi Manajemen, Ekonomi dan Bisnis, 1993 : 432-433).
2.       Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seorang organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau keterampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian, 1986 : 132)
3.       Motivation has to do with a set of independent / dependent variable relationship that explain the direction, and persintence of individual’s behavior, holding constant the effects of attitude, skill and understanding of the task, and the constraints operating in the environment (Campbell and Pritchard dalam Streers and Porter, 1991 : 5)
4.       Motivation primarily corcerned with :
-       What energizes human behavior
-       What direct or channels such behavior
-       How this behavior is maintained or sustained (Steers and Porter, 1991 : 6)

Dimensi Motivasi : Kebutuhan – Dorongan – Tujuan
                Beberapa hal yang biasanya terkandung dalam devinisi motivasi antara lain adalah keinginan, harapan, kebutuhan, tujuan, sasaran, dorongan dan insentif. Atau seperti telah disinggung pada bab pendahuluan, motivasi mengandung tiga komponen penting yang saling berkaitan erat yaitu kebutuhan, dorongan dan tujuan.
                Kebutuhan timbul dalam diri individu apabila ia merasa adanya kekurangan dalam dirinya yaitu dalam pengertian homeostatik adanya ketidakseimbangan antara apa yang dimiliki dengan apa yang menurut persepsi yang bersangkutan seyogyanya dimilikinya baik dalam arti fisiologis maupun psikologis. Untuk mengatasi ketidakseimbangan tersebut, dalam diri individu akan timbul dorongan berupa usaha pemenuhan kekurangan secara terarah. Karena itu, dorongan ini biasanya berorientasi pada tindakan tertentu yang secara sadar dilakukan oleh seseorang dan hal ini merupakan inti dari motivasi. Adapun komponen ketiga dari motivasi yaitu tujuan merupakan sesuatu yang menghilangkan kebutuhan dan mengurangi dorongan. Pencapaian tujuan berarti mengembangkan keseimbangan dalam diri seseorang baik yang bersifat psikologis maupun fisiologis.
                Pemahaman terhadap motivasi individu berkaitan erat pula dengan pemahaman tentang motif yaitu kebutuhan, keinginan, tekanan, dorongan dan desakan hati yang membangkitkan dan mempertahankan gairah individu untuk mengerjakan sesuatu.
                Teori motivasi yang menekankan pendekatan pada motif, pertama kali diketengahkan oleh Woodworth yang mengembangkan motif sebagai the reservoir of energy that imples an organism to behave in certain way.
                Sedangkan Hull menyatakan bahwa motif merupakan an energizing influence with determined the intencity of behavior, and with teoritically increased along with the level of deprivation (dalam Steer and Porter, 1991 : 11).
                Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa motif itulah yang menimbulkan adanya motivasi individu untuk melakukan pekerjaannya. Motif itu sendiri dapat berasal dari luar individu misalnya motif berupa tekanan dari atasan, atau dapat pula berasal dari dalam individu misalnya terdorong keinginan atau kebutuhannya.
                Salah satu variabel yang dapat meningkatkan individu adalah adanya insentif (Hull, dalam Steers and Porter, 1991 : 12). Insentif adalah alat-alat yang digunakan dalam mendorong orang melakukan sesuatu. Insentif yang dapat menyebabkan orang mau bekerja sebaik mungkin itu dapat berupa uang (financial) atau bukan uang (non financial).
                Insentif financial antara lain dapat berbentuk upah, gaji, jaminan sosial seperti asuransi, pensiun, uang cuti, hadiah, bonus, dan sebagainya. Insentif jenis ini dianggap membantu menarik karyawan yang lebih berkualitas, mengurangi turn over, dan meningkatkan semangat kerja. Sedangkan insentif non financial ini memberi peluang untuk mengembangkan inisiatif pribadi serta kesempatan berprestasi. Banyak penelitian telah membuktikan adanya dampak positif insentif non financial terhadap hasil karya. Kesempatan untuk maju, tantangan dalam pekerjaan, tanggungjawab, supervise yang efektif, kondisi kerja yang baik, serta acara rekreasi adalah beberapa contoh insentif non financial.

Teori-teori Motivasi
                Teori-teori motivasi yang biasanya dikenal paling tidak ada empat macam yaitu :
1.       Teori hirarki kebutuhan (hierarchy of needs) Maslow
2.       Teori ERG Alderfer
3.       Teori kebutuhan untuk maju (needs for achievement) McClelland
4.       Teori dua faktor Herzberg
Perbandingan antara keempat teori tersebut dapat dilihat pada tabel sbb:
                Khususnya mengenai salah satu unsur atau komponen motivasi yaitu kebutuhan, Maslow (1993 : 43-57) telah mengembangkan suatu konsep teori yang dikenal dengan hirarki kebutuhan / hierarchy of needs. Menurut Maslow, kebutuhan-kebutuhan manusia dengan sendirinya membentuk semacam hirarki yakni dari kebutuhan fisik (psyologocal needs), kebutuhan akan keselamatan atau rasa aman (safety and security needs) kebutuhan sosial (belongingness and love), kebutuhan akan penghargaan dan status (esteem and status) sampai dengan kebutuhan akan perwujudan atau aktualisasi diri (self-actualization).
                Kebutuhan pada tingkat pertama dan kedua biasa dikelompokkan dalam kebutuhan tingkat rendah sedang kebutuhan pada tingkat ketiga sampai dengan kelima termasuk kebutuhan tingkat tinggi. Meskipun hirarki kebutuhan yang disusun Maslow ini mengandung banyak pembatasan namun memberikan gagasan yang baik untuk membantu para manager dalam memotivasi pegawai. Hal ini penting, karena apabila kebutuhan pada tingkat rendah tidak terpenuhi, maka tidak satupun kebutuhan pada tingkat tinggi akan dapat dicapai.
                Menurut Gordon (1996 : 116), kebutuhan fisik atau fisiologis adalah kebutuhan paling dasar dari hidup manusia seperti makan, air, dan kebutuhan seksual, termasuk didalamnya dalah perlindungan kesehatan. Kebutuhan keselamatan dan rasa aman menggambarkan dorongan setiap orang untuk mencari perlindungan. Untuk memenuhi kebutuhan ini, suatu perusahaan mislanya akan mengeluarkan kebijaksanaan berupa larangan merokok di tempat kerja, menjalin kerjasama dengan perusahaan asuransi serta penerapan prosedur-prosedur keamanan di daerah-daerah “larangan”.
                Selanjutnya kebutuhan rasa memilki dan kasih sayang menekankan pada aspek sosial dari pekerjaan. Hal ini berarti bahwa setiap orang ingin mengadakan hubungan interpersonal atau interaksi sosial dengan orang lain. Dalam konteks organisasi maka pencapaian tujuan tidak mungkin diupayakan oleh orang atau pihak tertentu, melainkan diselenggarakan secara bersama-sama dalam suatu team work. Dengan kata lain lahirnya organisasi adalah perwujudan konkret dari adanya kebutuhan manusia akann hubungan sosial atau belongingness and love ini.
                Kebutuhan akan status dan penghargaan biasanya ditunjukkan adanya kebutuhan terhadap simbol-simbol kesuksesan, seperti gelar kesarjanaan, pengakuan dari orang lain, pemilkian barang-barang pribadi yang mewah. Dengan adanya kebutuhan ini orang ingin mendemonstrasikan kemampuannya serta membangun reputasi dan performansi yang bisa dibanggakan di depan orang lain. Adapun kebutuhan aktualisasi diri merefleksikan hasrat individu tiap-tiap orang untuk tumbuh dan berkembang atas dasar potensinya secara optimal. Orang-orang seperti ini biasanya selalu menginginkan adanya tantangan atau peluang dalam bekerja dan disertai adanya hasrat untuk mandiri dan menunjukkan tanggung jawab penuh.
                Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa teori motivasi yang dikemukakan Maslow (dan juga oleh pakar lain) tidak dapat dianalisis secara parsial. Artinya, seseorang yang telah berada pada tingkat kebutuhan tertinggi bukan berarti tidak membutuhkan lagi kebutuhan lainnya. Jadi, sifat pemenuhan setiap kebutuhan di atas sifatnya kumulatif bukan bersifat menggantikan atau melengkapi (untuk analogi : bandingkan dengan teori 5 tahap perkembangan masyarakat dari Rostow).
Hasil studi Maslow ini diperluas lebih lanjut oleh Herzberg, yang menyebutkan bahwa terdapat dua perangkat faktor terpisah yang mempengaruhi motivasi. Pandangan tradisional berasumsi bahwa motivasi dan kurangnya motivasi hanya merupakan dua hal yang bertentangan dalam satu kontinum.
Herzberg menolak anggapan ini dengan menyatakn bahwa faktor pekerjaan tertentu hanya membuat pegawai tidak puas apabila tidak ada kondisi tertentu. Dengan demikian Herzberg membedakan antara faktor iklim baik (hygiene factors) atau faktor pemeliharaan sebagai faktor yang diperlukan untuk mempertahankan tingkat kepuasan dalam diri pegawai dengan faktor motivasi (Davis and Newstrom, 1993 : 71-72) yakni kondisi kerja yang terutama berfungsi untuk menimbulkan motivasi. Faktor motivasi terutama berhubungan dengan isi pekerjaan (job content), sedangkan faktor pemeliharaan berhubungan dengan isi pekerjaan (job context) karena lebih berkaitan dengan lingkungan di sekitar pekerjaan. Oleh karena teori Herzberg ini membagi kedalam dua faktor maka teorinya sering dikenal dengan two-faktor model of motivation.
Perluasan lebih lanjut dari teori Herzberg dan Maslow datang dari usaha Alderfer. Dia memperkenalkan tiga kelompok inti dari kebutuhan yakni kebutuhan akan keberadaan (existence), kebutuhan berhubungan (relatedness) dan kebutuhan untuk berkembang (growth need). teori ini sering disebut juga dengan teori ERG.
Apabila dibandingkan dengan teori Herzberg dan Maslow kebutuhan akan keberadaan kira-kira sama artinya dengan kebutuhan fisik / fisiologisnya Maslow atau faktor pemeliharaannya Herzberg. Kebutuhan berhubungan bisa dipersamakan dengan kebutuhan sosial atau faktor pemeliharaan sedangkan kebutuhan untuk berkembang identik dengan kebutuhan aktualisasi diri dan faktor motivasi. Dalam hal ini, Alderfer lebih menyukai perincian kebutuhan yang didasari pada kontinum, daripada dengan hirarki seperti Maslow atau dua faktor kebutuhan dari Herzberg. Alderfer juga menyatakan bahwa tingkat yang di bawah harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum memuaskan diatasnya. Menurut (Thoha 1993 : 228) teori Alderfer masih menunjukkan sifat-sifat umum dan kurang mampu menjelaskan kompleknya teori motivasi disamping kurang memberikan kesiapan untuk bisa diterjemahkan ke dalam komplek manajemen.
Tokoh motivasi lain yang melakukan penelitian tentang desakan manusia untuk berprestasi adalah Mc. Clelland. Berdasarkan hasil penelitiannya dapat dikemukakan bahwa kebutuhan untuk berprestasi itu adalah suatu motif yang berbeda dan dapat dibedakan dari kebutuhan-kebutuhan lainnya. Menurut Mc. Clelland seseorang dianggap mempunyai motivasi untuk berprestasi jika ia mempunyai keinginan untuk melakukan sesuatu karya yang lebih baik dari prestasi karya orang lain. Dalam kaitan ini Mc. Clelland mengelompokkan adanya tiga macam kebutuhan yaitu kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk berafiliasi dan kebutuhan untuk kekuasaan. Adapun beberapa karakteristik dari orang-orang yang berprestasi tinggi antara lain:
1.       Suka mengambil resiko yang moderat
2.       Memerlukan umpan balik yang segera
3.       Memperhitungkan keberhasilan
4.       Menyatu dengan tugas (Thoha, 1993 : 229-232)
Pengembangan teori Mc. Clelland ini sesungguhnya bisa dikatakan diilhami oleh ajaran Etika Protestan yang dikemukakan Weber. Menurut paham ini seseorang sudah ditakdirkan masuk neraka atau masuk surga. Orang-orang yang akan masuk surga sudah dapat dilihat tanda-tandanya selama hidup di dunia yaitu mereka yang kaya, pandai dan sukses dalam hidupnya. Sementara orang-orang miskin, bodoh, pengangguran, dan gagal dalam hidup ditakdirkan untuk menjadi penghuni neraka. Oleh karena itulah, orang cenderung bekerja keras meraih prestasi agar dapat hidup sukses di dunia. Sejalan dengan ajaran ini di Jepang juga terdapat kepercayaan yang menganjurkan pemeluknya bekerja keras, yakni agama Yokugawa.
Tidak bisa dikesampingkan juga disini adalah teori motivasi Mc. Gregor yang mengemukakan teori X dan teori Y sebagai hasil klasifikasi dari dua jenis tipe manusia yaitu tipe X dan tipe Y (dalam Bowditch and Buono, 1985 : 44).
Menurut teori X pada dasarnya manusia itu cenderung berperilaku negatif dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Tidak senang bekerja dan apabila mungkin akan berusaha mengelakkannya
b.      Karena manusia harus dipaksa, diawasi atau diancam dengan berbagai tindakan positif agar tujuan organisasi tercapai
c.       Para pekerja akan berusaha mengelakkan tanggung jawab dan hanya akan bekerja apabila menerima perintah untuk melakukan sesuatu
d.      Kebanyakan pekerja akan menempatkan pemuasan kebutuhan fisiologis dan keamanan di atas faktor-faktor lain yang berkaitan dengannya dan tidak akan menunjukkan keinginan atau ambisi untuk maju
Sementara itu teori Y menyatakan bahwa manusia itu pada dasarnya cenderung berperilaku positif dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Para pekerja memandang kegiatan bekerja sebagai hal yang alamiah seperti halnya beristirahat dan bermain
b.      Para pekerja akan berusaha melakukan tugas tanpa terlalu diarahkan dan akan berusaha mengendalikan diri sendiri
c.       Pada umumnya para pekerja akan menerima tanggung jawab yang lebih besar
d.      Mereka akan berusaha menunjukkan kreativitasnya dan oleh karenanya akan berpendapat bahwa pengambilan keputusan merupakan tanggungjawab mereka juga dan bukan semata-mata tanggungjawab orang yang menduduki jabatan manajerial (Weber, 1960 dalam Siagian, 1989: 162-163).
Tidak jauh berbeda dengan Weber, Argyris mengajukan teori motivasi dengan membedakan manusia dalam kelompok tidak dewasa dan dewasa. Dalam usahanya menganalisis situasi kedewasaan, argyris mencoba membandingkan dengan nilai-nilai piramidal dari birokrasi yang masih mendominasi sebagian besar organisasi, dengan sistem nilai demokrasi yang banyak memperhatikan faktor manusianya. Pada akhirnya arygris menyatakan ada 7 perubahan yang terjadi pada kepribadian seseorang yang tidak dewasa menjadi orang yang matang.
Ketujuh perubahan tersebut adalah:
1.       pasif menjadi aktif
2.       tergantung menjadi tidak tergantung
3.       bertindak sedikit menjadi banyak variasinya
4.       minat yang tidak menentu dan dangkal mejadi lebih dalam dan kuat
5.       persfektif waktu jarak dekat menjadi jarak jauh
6.       posisi yang menjadi dibawah menjadi setingkat atau bahkan diatasnya
7.       serta kekurangan kesadaran atas dirinya menjadi tahu pengendalian diri (Thoha, 1993 : 241-249).
Diantara banykanya teori motivasi yang dikemukakan tersebut terdapat kecenderungan bahwa setiap pakar mengembangkan pola motivasi tertentu sebagai hasil dari lingkungan budaya setempat. Mengenai pola motivasi ini, empat pola yang sangat penting adalah prestasi, kompetensi, afiliasi dan kekuasaan.
Motivasi prestasi adalah dorongan dalam diri orang-orang untuk mengatasi segala tantangan dan hambatan dalam upaya mencapai tujuan. Motivasi kompetensi adalah dorongan untuk mencapai keunggulan kerja, meningkatkan keterampilan pemecahan masalah, dan berusaha keras untuk inovatif. Motivasi afiliasi adalah dorongan untuk berhubungan dengan orang lain atas dasar sosial. Motivasi kekuasaan adalah dorongan untuk mempengaruhi orang-orang dan mengubah situsasi. Pengetahuan tentang berbagai pola motivasi akan membantu manajemen dalam memahami sifat kerja masing-masing pegawai sehingga dapat mengelolanya sesuai dengan pola motivasi masing-masing yang paling menonol.
Di sisi lain, Vroom mengajukan pendekatan motivasi yang dapat diterima secara umum, yakni model harapan (expectancy model) atau dikenal juga sebagai model harapan. Vroom menjelaskan bahwa motivasi adalah hasil dari tiga faktor yaitu :
1.       Seberapa besar seseorang menginginkan imbalan (valensi)
2.       Perkiraan orang itu tentang kemungkinan bahwa upaya yang dilakukan akan menimbulkan prestasi yang berhasil (harapan)
3.       Perkiraan bahwa prestasi itu akan menghasilkan perolehan imbalan atau instrumentalis (David and Newstrom, 1993 : 90)
Hubungan antara ketiga faktor itu dapat dijelaskan sebagai berikut: valensi mengacu kepada kekuatan preferensi seseorang untuk memperoleh imbalan. Ini merupakan ungkapan kadar keinginan seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Harapan adalah kadar kuatnya keyakinan bahwa upaya kerja akan menghasilkan penyelesaian suatu tugas. Sedangkan instrumentalis menunjukkan keyakinan pegawai bahwa ia akan memperoleh suatu imbalan apabila tugas dapat diselesaikan. Hasil ketiga faktor tersebut adalah motivasi yakni kekuatan dorongan untuk melakukan suatu tindakan. Kombinasi yang menimbulkan motivasi adalah valensi positif yang tinggi, tinggi harapan dan tinggi instrumentalis.
Dengan adanya model harapan ini, maka para manajer organsiasi akan dipaksa untuk menguji proses timbulnya motivasi secara seksama. Model ini juga mendorong mereka untuk merancang iklim  motivasi yang akan memperbesar kemungkinan timbulnya perilaku pegawai yang diharapkan (David and Newstrom, 1993 : 95)

Kepemimpinan, Kekuasaan, dan Partisipasi
                Fungsi kepemimpinan dalam suatu organisasi, tidak dapat dibantah merupakan suatu fungsi yang sangat penting bagi keberadaan dan kemajuan organisasi yang bersangkutan. Sebagaimana diungkapkan Wahjosumidjo (1992 : 171), kepemimpinan mempunyai peranan sentral dalam kehidupan organisasi dimana terjadi interaksi kerjasama antara dua orang atau lebih dalam mencapai tujuan. Bahakan beberapa pakar mengasosiasikan kegagalan ataupun keberhasilan suatu organisasi dengan pimpinannya.
Dengan kata lain, perilaku pemimpin yang baik bersumber dari personalitas pemimpin itu sendiri karena dorongan kebutuhan pribadi pemimpin maupun karena tidak adanya kecocokan antara tujuan organisasi dengan motivasi pemimpin mempunyai hubungan yang erat dengan berbagai macam tingkat produktivitas dan moral orgnisasi (Trimo, 1984 : vii). Atau mengutip pendapat Jauch dan Glueck (1996 : 384) pemimpin yang efektif merupakan komponen untuk memungkinkan kebijakan dijalankan sebagaimana yang telah direncanakan. Oleh karena itu, memahami teori-teori kepemimpinan sangat besar artinya untuk mengkaji sejauh mana kepemimpinan dalam suatu organisasi telah dapat dilaksanakan secara efektif serta menunjang kepada produktivitas oragnisasi secara keseluruhan.

Beberapa Pengertian
Banyak pakar-pakar manajemen dan organisasi yang memberikan definisi tentang kepemimpinan. Namun jika diperhatikan lebih lanjut dari berbagai definisi tadi dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah suatu kegiatan mencapai tujuan melalui orang lain (achieving goals through others). Berikut ini disajikan beberapa pengertian kepemimpinan dikumpulkan oleh As’ad (1986 : 2-3):
1.       Kepemimpinan adalah suatu seni dan proses mempengaruhi sekolompok orang sehingga mereka mau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih tujuan kelompok (Koontz and Donnel, 1982).
2.       Kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang agar bekerja dengan ikhlas untuk mencapai tujuan bersama (Terry, 1954).
3.       Kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengarunya terhadap kelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan (Fiedler, 1967).
4.       Kepemimpinan adalah suatu proses atau tindakan untuk mempengaruhi aktivitas suatu kelompok organisasi dalam usahanya mencapai tujuan yang telah ditentukan (Stogdil, 1977).
5.       Kepemimpinan adalah kemampuan memperoleh kensensus dan keikatan pada sasaran bersama melampaui syarat-syarat organisasi yang dicapai dengan pengalaman, sumbangan dan kepuasan dipihak kelompok kerja (Cribbin, 1991).
6.       Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mengajak orang lain untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan penuh semangat (Davis, 1977).
7.       Kepemimpinan mengandung arti mempengaruhi orang untuk lebih berusaha mengerahkan tenaga dalam tugasnya atau merubah tingkah laku mereka (Wexley and Yulk, 1977).
Kepemimpinan (leadership) harus dibedakan dengan kekepalaan (headship). Headship diartikan sebagai pemimpin karena status dalam struktur organisasi sementara leadership tidak selalu mensyaratkan adanya posisi struktural tertentu.
Dengan demikian sumber kekuasaan dari kepemimpinan dan kekepalaan juga berbeda. Kekuasaan sering memimpin sumbernya mungkin datang dari kemampuannya untuk mempengaruhi orang lain karena sifat dan sikapnya, luas pengetahuan dan pengalamannya, pandai berkomunikasi, memiliki kesaktian dan kewibawaan, atau karena pandai bergaul dan berkomunikasi. Sedangkan kekuasaan seorang kepala berasal dari kedudukannya yang didasarkan atas otoritas yang dimiliki secara formal. Oleh karena itu seorang pejabat struktural belum tentu dapat jadi pemimpin dan seorang pemimpin juga belum tentu memiliki kedudukan sebagai kepala.



Teori Gaya dan Tipe Pemimpin
Dilihat dari orientasi si pemimpin, ada dua gaya kepemimpinan yang diterapkan yaitu gaya konsideran dan struktur atau dikenal juga sebagai orientasi pegawai dan orientasi tugas. Beberapa hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa prestasi dan kekuasaan kerja pegawai dapat ditingkatkan apabila konsiderasi merupakan gaya kepemimpinan yang dominan. Sebaliknya para pemimpin yang berorientasi tugas yang terstruktur percaya bahwa mereka memperoleh hasil dengan tetap membuat orang-orang sibuk dan mendesak mereka untuk berproduksi.
Pemimpin yang positif, partisipatif dan berorientasi, konsiderasi, tidak selamanya merupakan pemimpin yang terbaik. Fielder telah mengembangkan suatu model pengecualian dari ketiga gaya kepemimpinan di atas yakni model kepempinan kontigensi. Model ini menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling sesuai bergantung pada situasi dimana pemimpin bekerja. Dengan teorinya ini Fielder ingin menunjukkan bahwa keefektifan pemimpin ditentukan oleh interaksi antara orientasi dengan ketiga variabel yang berkaitan dengan pengikut, tugas dan organisasi. Ketiga variabel itu adalah hubungan antara pemimpin dengan anggota (leader – member relations), struktur tugas (task structure) dan kuasa posisi pemimpin (leader position power). Variabel pertama ditentukan oleh pengakuan atau penerimaan (akseptabilitas) pemimpin oleh pengikut, variabel kedua mencerminkan kadar diperlukannya cara spesifik untuk melakukan pekerjaan dan variabel ketiga menggambarkan kuasa organisasi yang melekat pada posisi pemimpin.
Model kontigensi Fielder ini serupa sekali dengan gaya kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard. Konsepsi kepemimpinan situasional ini melengkapi pemimpin dengan pemahaman dari hubungan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kematangan (maturity) pengikutnya. Perilaku pengikut atau bawahan ini sangat penting untuk mengetahui kepemimpinan situasional karena bukan saja pengikut sebagai individu bisa menerima atau menolak pemimpiannya akan tetapi sebagai kelompok, pengikut dapat menentukan kekuatan pribadi apapun yang dimiliki pemimpin.
Menurut Hersey dan Blanchard (dalam Ludlow dan Panton, 1996 : 18 dst), masing-masing gaya kepemimpinan ini hanya mamadai dalam situasi yang tepat meskipun disadari bahwa setiap orang memiliki gaya yang disukainya sendiri dan sering merasa sulit untuk mengubahnya meskipun perlu.
Directing adalah gaya yang tepat apabila anda dihadapkan dengan tugas yang rumit dan staf anda belum memiliki pengalaman dan motivasi untuk mengerjakan tugas tersebut atau apabila anda berada tekanan waktu penyelesaian. Anda menjelaskan apa yang perlu dan apa yang harus dikerjakan. Dalam situasi demikian, biasanya terjadi over-communicating (penjelasan berlebihan yang dapat menimbulkan kebingunan dan pembuangan waktu). Coaching adalah gaya yang tepat apabila staf anda telah lebih termotivasi dan berpengalaman dalam menghadapi suatu tugas. Disini anda perlu memberikan kesempatan kepada mereka  untuk mengerti tentang tugasnya dengan meluangkan waktu membangun hubungan dan komunikasi yang baik dengan mereka. 
Selanjutnya gaya kepemimpinan yang supporting akan berhasil apabila karyawan telah mengenal teknik-teknik yang dituntut dan telah mengembangkan hubungan yang lebih dekat dengan anda. Dalam hal ini, anda perlu meluangkan waktu untuk berbincang, untuk melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan kerja serta mendengarkan saran-saran mereka mengenai peningkatan kinerja. Adapun gaya delegating akan berjalan baik apabila staf anda sepenuhnya telah paham dan efisien dalam pekerjaan sehingga anda dapat melepas mereka menjalankan tugas atau pekerjaan itu atas kemampuan dan inisiatifnya sendiri.
Ditengah-tengah dinamika organisasi (yang antara lain diindikasikan oleh adanya perilaku staf / individu yang berbeda-beda) maka untuk mencapai efektivitas organisasi – penerapan keempat gaya kepemimpinan di atas perlu disesuaikan dengan tuntutan keadaan. Itulah yang dimaksud dengan situational leadership sebagaimana telah disinggung di atas. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk dapat mengembangkan gaya kepemimpinan situational ini.

Kekuasaan : Sumber-Sumber dan Bentuknya
Konsep kekuasaan memilki keterkaitan yang sangat erat dengan konsep kepemimpinan. Artinya, dalam implementasi fungsi kepemimpinan biasanya selalu melekat adanya kekuasaan.
Dengan kata lain, kekuasaan bagi seorang pimpinan merupakan alat untuk mempengaruhi perilaku, sikap atau pemikiran (partisipasi) para pengikutnya.
Dalam bentuk gambar, keterkaitan antara kepemimpinan, kekuasaan dan partisipasi dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Khususnya yang menyangkut pembahasan mengenai kekuasaan sendiri, jelas tidak dapat dipisahkan dari masalah dan sumber kekuasaan. Dalam hal ini, Thoha (1995 : 289-295) menjelaskan bahwa sumber dan bentuk kekuasaan kalau ditelusuri sejarahnya dapat dikembalikan pada pada pernyataan Machiavelli yang pertama kali dikemukakan pada abad ke-16.  Machiavelli menyatakan bahwa hubungan yang baik itu tercipta jika didasarkan atas cinta (kekuasaan pribadi) dan ketakutan (kekuasaan jabatan).
Itulah sebabnya maka Amitai Etziomi membahas bahwa sumber dan bentuk kekuasaan itu ada dua yakni kekuasaan jabatan (position power) dan kekuasaan pribadi (personal power). Dan dari berbagai teori mengenai kekuasaan paling tidak dapat dirumuskan adanya 6 bentuk kekuasaan yaitu:
a.       Kekuasaan paksaan
Kekuasaan paksaan (coercive power). Kekuasaan ini berdasarkan atas rasa takut. Dengan demikian sumber kekuasaan diperoleh dari rasa takut. Pemimpin yang mempunyai kekuasaan jelas ini mempunyai kemampuan untuk mengenakan hukuman, dampratan atau pemecatan.
b.      Kekuasaan legitimasi
Kekuasaan legitimasi (legitimate power). Kekuasaan ini bersumber pada jabatan yang dipegang oleh pemimpin. Secara normal semakin tinggi jposisi seorang pemimpin maka semakin besar kekuasaan legitimasinya. Seorang pemimpin yang tinggi kekuasaan legitimasinya mempunyai kecenderungan untuk mempengaruhi orang lain Karena pemimpin tersebut merasakan bahwa ia mempunyai hak dan wewenang yang diperoleh dari jabatan dalam organisasinya. Sehingga dengan demikian diharapkan saran-sarannya akan banyak diikuti oleh orang lain tersebut.
c.       Kekuasaan keahlian
Kekuasaan keahlian (ekpert power). Kekuasaan ini bersumber dari keahlian kacakapan atau pengetahuan yang dimiliki oleh seorang pemimpin yang diwujudkan lewat rasa hormat dan pengaruhnya terhadap orang lain. Seorang pemimpin yang tinggi kekuasaannya keahliannya, kelihatannya mempunyai keahlian untuk memberikan fasilitas terhadap perilaku kerja orang lain.
d.      kekuasaan penghargaan
kekuasaan penghargaan (reward power). Kekuasaan ini bersumber atas kemampuan untuk menyediakan penghargaan atau hadiah bagi orang lain seperti misalnya gaji, promosi, atau penghargaan jasa.
e.      kekuasaan referensi
kekuasaan referensi (referent power). Kekuasaan ini bersumber pada sifat-sifat pribadi dari seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang tinggi kekuasaan referensinya ini pada umumnya disenangi dan dikagumi oleh orang lain karena kepribadiannya.
f.        kekuasaan informasi
Adapun kekuasaan informasi (information power) adalah kekuasaan yang bersumber karena adanya akses informasi yang dimiliki oleh pemimpin yang dinilai sangat berharga oleh pengikutnya. Sebagai seorang pemimpin, semua informasi mengenai organisasinya ada padanya termasuk informasi yang datang dari luar organisasi. Dengan demikian pimpinan merupakan sumber informasi.

Partisipasi
Partisipasi dapat diartikan sebagai suatu gerakan atau kekuatan kelompok atau anggota kelompok (community / group power) yang bertujuan untuk ikut berperan atau berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Dengan mengutip pendapat dari Midgley, Mathur, serta Oakley and Marsden, Jahja Hanafie (1996 : 130) mengemukakan bahwa issu utama dalam partisipasi kelompok adalah penekanannya pada distribusi kekuatan (power distribution), persamaan (equality), keterlibatan (involvement), pembuatan kebijakan (policy making) dan pengambilan keputusan (decision making).
Adapun pentingnya partisipasi ini antara lain dikemukakan oleh Bep Fritschi (et.al, 1993 : 214-215), yang berpendapat bahwa terdapat dua alasan pokok untuk mengembankan partisipasi kelompok. Pertama, alasan-alasan yang mengacu pada kelompok sendiri yakni bahwa kelompok berhak untuk ikut terlibat dalam keputusan-keputusan yang menyangkut hari depan mereka. Kedua, alasan yang berkaitan dengan efektivitas dan efesiensi, dalam pengertian jika kelompok benar-benar diberikan kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam proses organisasional maka organisasi akan berlangsung lebih efektif dan efisien.
Sebagai ilustrasi mengenai partisipasi, Bank Dunia (1992 : 93) pernah menyatakan bahwa “ banyak masalah lingkungan tidak dapat diatasi tanpa partisipasi aktif dari penduduk setempat”. Tentu saja apa yang dikemukakan oleh Bank Dunia tersebut tidak semata-mata meliputi aspek lingkungan tetapi juga bidang-bidang lain dalam pembangunan suatu Negara dan masyarakat serta kehidupan dalam suatu organisasi besar maupun kecil.



Keputusan Dalam Pengambilan Keputusan
Keputusan dapat diartikan sebagai suatu pengakhiran atau pemutusan dari suatu proses pemikiran untuk menjawab suatu pernyataan khususnya mengenai suatu masalah atau problema. Sedangkan pengambilan keputusan adalah proses pendekatan yang sistematis terhadap suatu masalah mulai dari identifikasi dan perumusan masalah, pengumpulan dan penganalisaan data dan informasi, pengembangan dan pemilihan alternatif serta pelaksanaan tindakan yang tujuannya untuk memperbaiki keadaan yang belum memuaskan. Dari pengertian tersebut nampak bahwa pengambilan keputusan bukanlah merupakan kegiatan yang sepele atau mudah. Artinya, suatu keputusan mestilah lahir dari suatu proses panjang yang rumit dimana didalamnya terjadi diskusi-diskusi intensif, saling bertukar pikiran dan brain storming yang mendalam dengan analisis-analisis yang tajam dan interdisipliner.
Adapun mengenai proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama kali, proses pengambilan keputusan dipicu oleh adanya masalah yang dihadapi dan perlu segera dipecahkan oleh suatu organisasi. Dari adanya masalah ini, langkah yang harus ditempuh adalah menetapkan secara tepat apa sesungguhnya masalah yang dihadapi. Untuk itu perlu dilakukan pengenalan, identifikasi, diagnosis, dan analisis terhadap masalah yang ada yakni dengan cara menguraikan unsure-unsur masalah yang dihadapi, kemudian dikelompokkan kembali menurut corak dan sifatnya masing-masing, serta memperkirakan faktor-fakor kunci penyebab masalah tersebut.
Untuk mendukung hal ini perlu dilakukan pengumpulan data pendahuluan yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi. Adalah suatu kegagalan besar jika SDM suatu organisasi salah dalam mengenali, mengidentifikasi serta mendiagnosis sesuatu yang diduga merupakan masalah padahal masalah sesungguhnya belum atau tidak tersentuh sama sekali.
Setelah dilakukan identifikasi dan diagnosis masalah, maka tahap selanjutnya adalah pengembangan alternatif. Tahapan ini merupakan kegiatan analisa dalam rangka menggali dan menemukan berbagai macam pilihan atau alternatif, sehingga membutuhkan daya cipta yang besar disamping pengetahuan yang luas dan mendalam tentang yang akan dipecahkan.
Pada tahap berikutnya, terhadap berbagai alternatif tadi diadakan evaluasi atau penilaian. Dalam hal ini, evaluasi dilakukan atas dasar ramalan (forecasting) mengenai konsekuensi setiap alternatif yang diperkirakan yang akan timbul. Dalam meramalkan setiap alternatif biasanya digunakan pola berfikir sebab akibat misalnya: jika alternatif 1 yang dipilih akan menimbulkan konsekuensi A, B dan seterusnya. Dengan kata lain perlu diadakan pembandingan antar alternatif, sebelum sampai kepada pemilihan salah satu alternatif yang dianggap terbaik serta mengandung cost yang jauh lebih rendah dibanding benefit yang akan dihasilkan.   
Adapun pase atau tahap terakhir dari proses pengambilan keputusan adalah implementasi keputusan, yaitu pelaksanaan dari alternatif yang dipilih serta pemantauan pelaksanaan sebagai dasar tindak lanjut bagi organisasi yang bersangkutan.

Corak dan Jenis Masalah
Sebagaimana diketahui corak atau jenis masalah yang dihadapi oleh suatu organisasi biasanya dapat dikelompokkan kedalam dua golongan yaitu masalah yang sederhana (simple problem) dan masalah yang rumit (complex problem). Corak atau jenis masalah yang berbeda akan menyebabkan cara pengambilan keputusan yang berbeda pula. Adapun pengertian masalah sederhana adalah masalah yang mempunyai ciri-ciri antara lain berskala kecil, berdiri sendiri dalam arti kurang memiliki sangkut paut dengan masalah yang lain, tidak mengandung konsekuensi yang besar, serta pemecahannya tidak memerlukan pemikir yang luas dan mendalam.
Terhadap masalah yang sederhana seperti ini maka pengambilan keputusan dalam rangka pemecahan masalah dilakukan secara individual oleh setiap pimpinan. Teknik yang biasa digunakan untuk memecahkan masalah yang sederhana ini pada umumnya dilakukan atas dasar intuisi, pengalaman, kebiasaan dan wewenang yang melekat pada jabatannya.
Sementara itu, masalah rumit adalah masalah yang mempunyai ciri-ciri antara lain berskala besar, tidak berdiri sendiri melainkan memilki kaitan erat dengan masalah-masalah lain, mengandung konsekuensi yang besar serta pemecahannya memerlukan pemikiran yang tajam dan analitis. Oleh karenanya, pengambilan keputusan atas masalah kompleks ini dilakukan secara kelompok yang melibatkan pimpinan dan segenap staf pembantunya. Masalah rumit ini sendiri dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu masalah yang terstruktur (structured problems) dan masalah yang tidak terstruktur (unstructured problems).
structured problems  adalah masalah yang jelas faktor-faktor penyebabnya, bersifat rutin dan biasanya timbul berulang kali sehingga pemecahannya dapat dilakukan dengan teknik pengambilan keputusan yang bersifat rutin, repetitif dan dibakukan. Sebagai contoh masalah terstruktur ini misalnya adalah masalah penggajian, kepangkatan dan pembinaan pegawai, masalah perijinan dan sebagainya. Oleh karena sifatnya yang rutin dan baku maka pengambilan keputusan menjadi relatif mudah atau cepat, dimana salah satu caranya adalah dengan penyusunan metode / prosedur / program tetap atau pembakuan-pembakuan lainnya.
Berbeda dengan masalah yang terstruktur, maka pada masalah yang tidak terstruktur proses pengambilan keputusan menjadi lebih sulit dan lebih lama. Sebab masalah yang tidak terstruktur ini merupakan penyimpangan dari organisasi yang bersifat umum, tidak rutin, tidak jelas faktor penyebab dan konsekuensinya, serta tidak repititif kasusnya. Oleh karenanya diperlukan teknik pengambilan keputusan yang bersifat non-programmed decision-making.
Hal ini mensyaraktkan bahwa sebelum ditetapkannya waktu keputusan perlu disediakan berbagai bahan tambahan atau informasi, baik yang tertuang dalam peraturan perundangan maupun dalam berbagai sumber yang tersebar. Selanjutnya terhadap bahan-bahan dilakukan analisis, penguraian dan pertimbangan-pertimbangan khusus. Dalam kaitan ini peranan diskusi sangatlah besar, sebab keputusan yang diambil semata-mata didasarkan kepada pengalaman, terlebih lagi adalah faktor-faktor spesifik yang membentuk masalah tersebut.


Komunikasi, Pengertian dan Prosesnya
Secara luas komunikasi adalah setiap bentuk tingkah laku seseorang baik verbal maupun nonverbal yang ditanggapi oleh orang lain. Komunikasi mencakup pengertian yang lebih luas dari sekedar wawancara. Setiap bentuk tingkah laku mengungkapkan pesan tertentu sehingga juga merupakan sebentuk komunikasi (Johnson, dalam Supratiknya, 1995 : 30).
Sementara secara sempit komunikasi diartikan sebagai pesan yang dikirimkan seseorang kepada satu atau lebih penerima dengan maksud sadar untuk mempengaruhi tingkah laku si penerima. Dalam setiap bentuk komunikasi setidaknya dua orang saling mengirimkan lambang-lambang yang memilki makna tertentu. Lambang-lambang tersebut bisa bersifat verbal berupa kata-kata atau bersifat nonverbal berupa ekspresi atau ungkapan tertentu dengan gerak tubuh.
Dari beberapa definisi atau pengertian tentang komunikasi, menurut Robby Chandra (1992 : 46-47) dapat dibagi kedalam empat kelompok yaitu:
a.       Definisi berdasarkan perspektif yang bersifat behavioristik. Prespektif ini datang dari cabang psikologis behavioristik yang menekankan hubungan antara stimulus / rangsangan dan respons dari penerima stimulus. Dengan demikian teori yang menggunakan perspektif ini akan menekankan komunikasi sebagai pengaruh perasaan sebagai stimulus terhadap seseorang.
b.      Definisi berdasarkan transmisi. Menurut teori ini komunikasi adalah transfer informasi dari pengirim berita kepada penerima. Di dalam definisi yang bersifat transmisional tekanan yang diletakkan pada peranan media, waktu dan sekuens dari berita.
c.       Definisi berdasarkan prespektif yang menekankan interaksi. Perspektif ini menyadari bahwa komunikator dan penerima saling berespons. Kata kunci di dalam defenisi yang memperhatikan interaksi ialah umpan balik (feed-back) dan efek timbal balik.
d.       Definisi yang menekankan transaksi. Perspektif defenisi serupa ini komunikasi dilihat sebagai pengalaman dimana pesertanya ambil bagian dengan aktif. Karena tekanan perhatiannya diletakkan atas pemahaman tentang konteks, proses, dan fungsi komunikasi yang terjadi.
Komunikasi yang terjadi antara seseorang dengan orang lain, berlangsung pada taraf kedalaman yang berbeda-beda. Dan atas dasar kedalamannya ini, John Powell (dalam supraktiknya, 1995:32-34) membedakan komunikasi dalam lima taraf. Taraf ke lima adalah basa-basi. Ini merupakan taraf komunikasi paling dangkal. Biasanya terjadi pada dua orang yang bertemu secara kebetulan. Taraf keempat yakni, membicarakan orang lain. Disini orang sudah mulai menanggapi, namun tetap masih dalam taraf dangkal, khususnya sebelum mau berbicara tentang diri masing-masing.
Taraf ketiga adalah menyatakan  gagasan dan pendapat. Kita sudah mau saling membuka diri, saling mengungkapkan diri, namun pengungkapan diri tersebut masih terbatas pada taraf pikiran. Taraf kedua adalah taraf hati dan perasaan. Ada yang mengatakan bahwa emosi atau perasaan adalah unsur yang membedakan orang yang satu dari yang lain. Sama-sama menghias rumah dan menaikkan bendera dalam rangka tujuh belas agustus-an, namun seorang veteran pejuang yang kini hidupnya sukses , veteran pejuang yang nasibnya kurang beruntung, miskin dan terlupakan, warga masyarakat biasa yang tidak mengalami sendiri masa perang, dan seorang mahasiswa yang aktif memperjuangkan keadilan, tentu melakukannya dengan perasaan yang berbeda-beda.
Taraf pertama adalah hubungan puncak. Komunikasi pada taraf ini ditandai dengan kejujuran, keterbukaan dan saling percaya yang mutlak diantara kedua belah pihak. Tidak ada lagi ganjalan-ganjalan berupa rasa takut, rasa khawatir jangan-jangan kepercayaan kita disia-siakan. Selain merasa bebas untuk saling mengungkapkan perasaan yang sama tentang banyak hal. Dengan kata lain komunikasi tersebut telah berkembang begitu mendalam sehingga kedua belah pihak merasakan timbal balik yang hampir sempurna.
Dalam pelaksanaan suatu komunikasi atau untuk dapat tersampaikannya suatu pesan dari seseorang (pengirim) kepada orang lain (penerima), perlu adanya proses yakni proses komunikasi.

Komunikasi Salah Satu Arah dan Dua Arah
Dilihat dari umpan balik atau respon parah pihak dalam berkomunikasi maka terdapat dua bentuk komunikasi yakni komunikasi satu arah dan komunikasi dua arah. Komunikasi satu arah yakni situasi komunikasi di mana pengirim tidak memilki kesempatan untuk mengetahui bagaimana penerima telah mendekodefikasikan pesannya.
Sebaliknya, komunikasi dua arah berlangsung apabila pengirim cukup leluasa mendapatkan umpan balik tentang cara penerimaan menangkap pesan yang telah dikirimnya. Komunikasi dua arah yang terbuka semacam ini akan mempermudahkan terjadinya saling pemahaman dalam komunikasi dan sangat menolong mengembangkan suatu relasi yang memuaskan bagi kedua belah pihak serta kerja sama yang efektif (Johnson dalam Supraktiknya, 1995 : 38-39).

Pentingnya Komunikasi
Komunikasi antarpribadi sangat penting bagi kebahagiaan hidup kita. Johnson (1981) sebagaimana dikutip Supraktiknya (1995 : 9-10) menunjukkan beberapa peranan yang disumbangkan oleh komunikasi antarpribadi dalam rangka menciptakan kehidupan hidup manusia.
Pertama, komunikasi antarpribadi membantu perkembangan intelektual dan sosial kita. Perkembangan kita sejak masa bayi sampai masa dewasa mengikuti pola semakin meluasnya ketergantungan kita pada orang lain. Diawali dengan ketergantungan atau komunikasi yang intensif dengan ibu pada masa bayi, lingkaran ketergantungan atau komunikasi itu semakin luas dengan bertambahnya usia kita. Bersama proses itu perkembangan intelektual dan sosial kita sangat ditentukan oleh kualitas komunikasi kita dengan orang lain itu.
Kedua, identitas atau jati diri kita terbentuk dalam dan lewat komunikasi dengan orang lain. Selama berkomunikasi dengan orang lain, secara sadar maupun tidak sadar kita mengamati, memperhatikan dan mencatat dalm hati semua tanggapan yang diberikan oleh orang lain terhadap diri kita. Kita menjadi tahu begaimana pandangan orang lain terhadap diri kita. Berkat pertolongan komunikasi dengan orang lain kita dapat menemukan diri, yaitu mengetahui siapa diri kita sebenarnya.
Ketiga, dalam rangka memahami realitas di sekeliling kita serta menguji kebenaran kesan-kesan dan pengertian yang kita miliki tentang dunia di sekitar kita, kita perlu membandingkannya dengan kesan-kesan dan pengertian orang lain tentang realitas yang sama. Tentu saja perbandingan sosial (social comparison) semacam ini hanya dapat kita lakukan lewat komunikasi dengan orang lain.
Keempat, kesehatan mental kita sebagian besar juga ditentukan oleh kualitas komunikasi atau hubungan kita dengan orang lain, lebih-lebih orang yang merupakan tokoh-tokoh signifikan (significant figures) dalam hidup kita. Bila hubungan kita dengan orang lain diliputi masalah maka tentu kita akan menderita merasa sedih, cemas dan frustasi. Bila kemudian kita menarik diri dan menghindari orang lain maka rasa sepi dan terasing yang mungkin kita alami pun tentu akan menimbulkan penderitaan, bukan hanya penderitaan emosional dan batin bahkan mungkin juga penderitaan fisik.
Apabila dalam proses tersebut terjadi suatu komunikasi yang tidak lancar dan tidak efektif akan terjadi apa yang disebut kegagalan komunikasi (communication failure). Atau dengan kata lain kegagalan dalam komunikasi timbul karena adanya kesenjangan antara apa yang sebenarnya dimaksud pengirim dengan apa yang oleh penerima diduga dimaksud oleh pengirim.

Tiga Gaya Tanggapan Dalam Organsasi
Mengenai gaya seseorang (komunikan) memberikan tanggapan kepada komunikator – dilihat dari hak untuk mempertahankan kepentingan dan harga dirinya terdapat tiga gaya tanggapan yaitu non asersi, asersi dan agresi.
Asersi adalah tindakan untuk mempertahankan hak asasi sendiri yang mendasar tanpa melanggar hak asasi orang lain (Jakubowsi-Spector, 1973). Dengan kata lain tanggapan yang mengakui batas-batas antara hak individu seseorang dengan hak orang lain dan senantiasa menjaga batas-batas itu. Oleh karena itu, dalam tanggapan asertif ini terkandung suatu pengakuan bahwa hak orang lain untuk berbuat salah namun tiap-tiap orang berhak memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa mengabaikan menolong orang lain.
Ketika salah seorang teman Inem pinjam mobil sport barunya untuk tamasya, Inem menanggapi secara “Asertif” dengan mengatakan “saya memahami kebutuhanmu akan transportasi, tetapi mobil ini terlalu berarti bagi saya untuk saya pinjamkan”. Inem berhasil memahami hak temannya untuk meminjam tetapi juga berhasil mempertahankan haknya sendiri untuk menolak.
Kemudian gaya tanggapan non asersi menggambarkan ketidakmampuan untuk mempertahankan batas antara hak seseorang dengan hak orang lain secara memuaskan. Gaya tanggapan ini terjadi bilamana seseorang membiarkan batas-batas haknya dipersempit. Dalam kasus Inem, tanggapan yang bersifat “Non asertif” tentunya akan meminjamkan kendaraanya karena takut temannya akan menganggap dirinya picik atau kurang percaya, oleh karena itu ia menyesal mengapa ia tidak menolak. Jadi dalam hal ini Inem tidak memilih untuk mengatakan tidak.
Adapun gaya tanggpan agresif terjadi jika seseorang memasuki batas-batas hak individu orang lain. Dalam kasus Inem ungkapan agresi dapat berbunyi seperti ini “tentu saja tidak!” atau “kau bercanda!”. Dalam hal ini Inem melanggar hak seseorang untuk memperoleh penghormatan dan penghargaan.

Pengungkapan Diri dan Jendela Rohani
Salah satu upaya untuk menciptakan proses komunikasi yang efektif adalah dengan keberanian untuk mengungkapkan diri secara terbuka dan obyektif. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ludlow dan Panton (1996 : 9), bahwa dalam menafsirkan informasi kita lebih melihat atau mendengan apa yang kita inginkan daripada menghadapi fakta-fakta obyektif. Oleh karena itu, penghalang terbesar obyektifitas adalah konsep diri (self concept) yakni apa yang “kita ketahui” dalam hubungan kita dengan dunia dan orang lain dan kita cenderung menolak informasi yang tampaknya mengancam konsep diri tersebut. Dengan kata lain, obyektifitas dalam komunikasi akan terganggu manakala terjadi “pembiasaan persepsi” antar pribadi.
Dalam hubungan ini maka Jendela Johari bermanfaat untuk mengurangi adanya pembiasaan persepsi tersebut. Dari gambar di bawah ini dapat disimak bahwa ketika kita sedang bersama dan atau berkomunikasi dengan orang lain terdapat beberapa unsur dari diri, sikap, perilaku dan kepribadian kita yang kita sadari dan juga tampak nyata bagi orang lain (bidang TERBUKA). Disisi lain orang mungkin mengamati segi-segi kehidupan kita yang tidak kita sadari misalnya “nafasnya bau jengkol” (bidang TAK DISADARI).
Disamping itu, kita sering cenderung menjaga beberpa bagian dari diri, sikap dan perasaan serta hal-hal pribadi kita dan tidak membukanya kepada oraang lain (bidang TERTUTUP). Sementara seringkali kita sadari juga bahwa ada beberapa aspek kehidupan yang tidak kita ketahui serta tidak tampak pula bagi orang lain, akan tetapi sangat mempengaruhi perilaku kita misalnya kemarahan yang muncul tanpa sebab (bidang TAK DIKETAHUI).
Pada saat seseorang bertemu dan berkomunikasi untuk pertama kalinya dengan orang lain, terdapat kecenderungan untuk tidak terlalu membuka diri sehingga bidang terbuka menjadi kecil. Akibatnya, komunikasi menjadi kurang efektif dan diperlukan langkah-langkah untuk memperluas bidang terbuka ini, sekaligus mempersempit bidang tak disadari dan bidang tertutup. Hal ini dapat dicapai melalui dua rangkaian aktivitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran yakni pengungkapan diri dan umpan balik.
Pengungkapan diri adalah pemberian informasi diri kita secara Cuma-Cuma kepada orang lain dan bermanfaat untuk memperkecil bidang tak disadari. Sementara umpan balik adalah tanggapan dari orang lain yang bermanfaat untuk memperkecil bidang tak disadari.



Pengertian dan Sifat Konflik
Menurut Joyce Hocker dan William Wilmot di dalam bukunya Interpersonal Conflict (dalam Robby Chandra, 1992 : 15-16) ada berbagai pandangan tentang konflik yang umumnya tersebar secara merata di dalam berbagai budaya di seluruh dunia:
a.       Konflik adalah hal yang abnormal karena hal yang normal ialah keselarasan. Mereka yang menganut pandangan ini pada dasarnya bermaksud menyampaikan bahwa suatu konflik hanyalah merupakan gangguan stabilitas. Karena konflik dilihat sebagai suatu tanggapan maka harus diselesaikan secepat-cepatnya, apapun penyebabnya.
b.      Konflik sebenarnya hanyalah suatu perbedaan atau salah paham. Kata-kata serupa itu seringkali disampaikan oleh orang yang terlibat dalam suatu konflik. Dengan kata lain, konflik tidak dinilai sebagai suatu hal yang terlalu serius. Bahkan, menurut penganut pendapat ini penyebab konflik hanyalah kegagalan berkomunikasi dengan baik, sehingga pihak lain tidak dapat memahami maksud kita sesungguhnya.
c.       Konflik adalah gangguan yang hanya terjadi karena kelakuan orang-orang yang tidak beres. Pendapat ini sering pula diungkapkan dengan cara lain. Orang-orang yang senang terlibat konflik adalah anti-sosial, paranoia, ngawur, atau senang berkelahi. Menurut penganut pendapat ini penyebab suatu konflik adalah ketidakberesan kejiwaan orang tertentu.
Mengenai faktor penyebab konflik menurut Watkins (dalam Robby Chandra, 1992 : 15-16) konflik terjadi bila terdapat dua hal. Pertama, konflik bisa terjadi bila sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yang secara potensial dan praktis / operasional dapat saling menghambat. Secara potensial artinya mereka memilki kemampuan untuk menghambat. Secara praktis / operasional artinya kemampuan untuk tadi bisa diwujudkan dan ada di dalam keadaan yang memungkinkan perwujudannya secara mudah. Artinya bila kedua pihak tidak dapat menghambat atau tidak melihat pihak lain sebagai hambatan maka konflik tidak akan terjadi.
Kedua, konflik dapat terjadi bila ada suatu sasaran yang sama-sama dikejar oleh kedua pihak kedua namun hanya salah satu pihak yang mungkin akan mencapainya.
Selanjutnya dilihat dari sifatnya, konflik dapat dikelompokkan menjadi konflik negatif dan konflik positif. Konflik yang negatif ialah konflik dimana pihak-pihak yang terlibat merasa rugi karena konflik itu. Hal ini bisa terjadi walaupun pihak luar melihat pihak yang merasa kalah itu sudah unggul. Jadi faktor persepsi dan perasaan kalah memegang perasaan penting. Konflik negatif dan merusak ini muncul dalam bentuk yang dikenal sebagai spiral konflik. Spiral konflik ini hanya memilki satu arah yaitu meningkat dan maju. Ciri-cirinya, hubungan negatif itu hampir otomatis menghasilkan hubungan negatif lainnya. Dalam spiral ini salah satu pihak akan berusaha untuk mengubah struktur hubungan dan membatasi pilihan pihak lain untuk mencari keuntungan sepihak.
Salah satu bentuk konflik negatif ialah suatu konflik yang tidak terselesaikan. Hal ini bisa terjadi dengan salah satu pihak menarik diri. Ini dilakukan dengan pengetahuan bahwa pihak lainnya akan dirugikan oleh keputusan itu.
Lawan dari konflik negatif adalah konflik positif. Konflik positif berguna untuk suatu masyarakat atau kelompok yang memungkinkan ekspresi konflik yang terbuka dan memungkinkan pergeseran keseimbangan kekuasaan. Konflik akan memberikan transisi untuk suatu hubungan baru yang terus direvisi.
Ciri-ciri dari konflik yang positif ialah adanya transformasi dari elemen-elemen konflik yaitu, cara konflik itu diekspresikan, persepsi tentang kebutuhan dan tujuan, persepsi tentang kemungkinan pemenuhannya, tingkat persepsi bahwa kedua belah pihak sebenarnya saling terkait, serta jenis kerjasama dan oposisi. Dengan kata lain kedua pihak akan merasa diperkaya di dalam hubungan mereka. Mereka akan lebih bersedia bekerja sama dan bersedia untuk mengatasi konflik dengan lebih terbuka di masa depan.
Dalam hubungan ini, Coser (dalam Robby Chandra, 1992 : 54) berpendapat bahwa konflik dapat menyatukan sebuah kelompok lebih erat dan memadukannya dengan baik. Hal ini disebabkan karena konflik itu memberikan klep pengaman, menolong kelompok untuk lebih efektif dengan adanya keterbukaan dalam menilai struktur yang ada dan memungkinkan adanya perumusan yang tajam tentang sasaran / tujuan dan kebutuhan kelompok. Konflik yang produktif dan positif akan membuat semua pihak merasa bahwa sesuatu telah dicapai bersama.
Dengan kata lain konflik dalam hubungan antar pribadi sesungguhnya memilki potensi menunjang perkembangan pribadi kita sendiri maupun perkembangan relasi kita dengan orang lain asal kita mampu menghadapi dan memecahkan konflik-konflik semacam itu secara konstruktif.

Anatomi / Unsur Konflik
Di manapun terjadinya semua konflik memilki kesamaan-kesamaan. Baik yang terjadi dikeluarga, sekolah, lingkungan agama, atau lingkungan bisnis, indikator adanya kehadiran konflik adalah terdapatnya anatomi atau unsur-unsur di bawah ini (dalam Robby Chandra, 1992 : 54).
1.       Adanya ketegangan yang diekspresikan baik melalui tindakan
2.       Adanya sasaran / tujuan atau pemenuhan kebutuhan yang dilihat berbeda
3.       Kecilnya kemungkinan untuk pemenuhan kebutuhan yang dirasakan
4.       Adanya kemungkinan bahwa masing-masing pihak dapat menghalangi / menghambat pihak lain dalam mencapai tujuannya
5.       Adanya saling ketergantungan (menurut Braiker dan Kelley)

Strategi Mengatasi Konflik
Adapun konflik yang kita hadapi, konsentrasi pemikiran harus diarahkan kepada upaya bagaimana mengatasi konflik   (yang negatif) serta bagaimana memelihara konflik (yang positif). Dalam kaitan ini , bila kita terlibat dalam suatu konflik dengan orang lain ada dua hal yang harus kita pertimbangkan (Supraktikya, 1995 : 99-100)
a.       Tujuan –tujuan atau kepentingan-kepentingan pribadi kita. tujuan-tujuan pribadi ini dapat kita rasakan sebagai hal yang sangat penting sehingga harus kita pertahankan mati-matian atau tidak penting sehingga dengan mudah kita korbankan
b.      Hubungan baik dengan pihak lain. Seperti tujuan pribadi, hubungan dengan pihak lain dengan siapa kita berkonflik ini juga dapat kita rasakan sebagai hal yang sangat penting atau sama sekali tidak penting.
Cara kita bertingkah laku dalam suatu konflik dengan orang lain, akan ditentukan oleh seberapa penting tujuan-tujuan pribadi dan hubungan dengan pihak lain kita rasakan. Berdasarkan dua pertimbangan di atas dapat ditemukan lima gaya dalam mengelola konflik antar pribadi (Jonhson, 1981)
a.       Gaya kura-kura. Konon, kura-kura lebih senang menarik diri bersembunyi di balik tempurung badannya untuk menghindari konflik
b.      Gaya ikan hiu. Ikan hiu senang menaklukkan lawan dengan memaksanya menerima solusi konflik yang ia sodorkan.
c.       Gaya kancil. Seekor kancil sangat mengutamakan hubungan dan kurang mementingkan tujuan-tujuan pribadinya
d.      Gaya rubah. Rubah senang mencari kompromi. Baginya, baik tercapainya tujuan-tujuan pribadi maupun hubungan baik dengan pihak lain sama-sama penting
e.      Gaya burung hantu. Burung hantu sangat mengutamakan tujuan-tujuan pribadinya sekaligus hubungannya dengan pihak lain.
Dalam mengatasi atau menyelesaikan konflik ini, peran komunikasi yang efektif sangat yang di perlukan. Artinya, komunikasi dapat memainkan berbagai peran dalam kaitannya dengan urusan konflik. Pertama komunikasi merupakan penjernih masalah di dalam hubungan yang tidak beres. Kedua, komunikasi sebagai tempat mewujudkan konflik. Ketiga, komunikasi sebagai sesuatu yang netral. Dengan kata lain, tindakan seseorang di dalam berkomunikasi sering mengakibatkan timbulnya konflik. Namun di sisi lain, tindakan komunikasi juga merupakan pantulan dari adanya konflik serta usaha penanganannya (Robby Chandra, 1992:53).
Konsepsi kinerja dan produktifitas
Dalam ilmu dan praktek manajemen, pengertian kinerja atau produktivitas belum memiliki satu arti yang disepakati. Namun dari berbagai defenisi dan interpretasi mengenai produktivitas, Sumanth (1984 : 7) mengemukakan tentang tiga bentuk dasar dari produktivitas, yaitu:
1.         Produktivitas parsial (partial produktifity)
2.         Produktivitas total faktor (total factor produktifity)
3.         Produktivitas total (total produktifity)
Filosofi mengenai produktivitas sendiri mengandung arti adanya keinginan dan usaha dari masing-masing individu dan unit-unit organisasi untuk meningkatkan mutu hidup dan kehidupannya. Dalam hal ini produktivitas merupakan hasil yang dapat dicapai dari proses produksi dengan menggunakan satu atau lebih faktor produksi.
Produkitivitas biasanya dihitung sebagai indeks, yakni rasio output (keluaran) dibanding input (masukan) dan dinyatakan dalam ukuran fisik (physical productivity) maupun ukuran financial (financial produktivitas). Rasio antara output dengan input tersebut menunjukkan jumlah keluaran yang diperoleh dari sejumlah masukan. Makin besar nilai tersebut, berarti produktivitas makin tinggi (Ensiklopedi Ekonomi, Bisnis dan Manajemen, 1992 : 210).
Dengan demikian konsepsi mengenai produktivitas tidak hanya mengacu pada jumlah keluaran tetapi juga pada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi proses pencapaian produktivitas itu sendiri. Jadi antara produktivitas, efisiensi dan efektifitas merupakan kesatuan hubungan yang tidak dapat saling dipisahkan. Efektivitas berkaitan dengan upaya mencari sasaran sedangkan efisiensi mengarah pada pemanfaatan sumber daya secara maksimal.

Penerapan dan Pengukuran Produktivitas
Penerapan konsep produktivitas pada organisasi sektor publik dan sektor privat atau bisnis menurut Balk seperti dikutip oleh Kasim (1989 : 19) sangat berbeda, dimana konsepsi produktivitas dalam organisasi sektor privat didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut:
1.       Suatu organisasi bisnis adalah suatu badan yang mampu menentukan nasibnya
2.       Organisasi yang produktif akan menyingkirkan organisasi yang kurang produktif
3.       Organisasi harus berkembang supaya dapat bertahan
4.       Kesehatan organisasi diukur berdasarkan gambaran keuntungan jangka pendek dan jangka panjang
5.       Kualitas yang rendah akan menyebabkan kerugian
Jika pada sektor privat indikator yang digunakan dalam mengukur produktivitas adalah tingkat keuntungan yang dicapai maka produktivitas pada organisasi pemerintah lebih banyak diukur  dari segi kualitas hasil yang dihasilkannya kepada masyarakat, yaitu sampai seberapa jauh hasil tersebut sesuai dengan standar yang diinginkan. Standar ini meliputi ciri-ciri dari output misalnya berapa unit atau event yang dihasilkan, bagaimana jadwal penyelesaiannya (timeliness) dan seberapa jauh kepuasan dari klien atau masyarakat yang dilayaninya. Dengan kata lain, ada beberapa asumsi normatif yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam memahami produktivitas organisasi sektor publik yaitu sebagai berikut:
1.       Organisasi (institusi) publik tidak sepenuhnya otonom tetapi dikuasai  oleh faktor-faktor eksternal
2.       Organisasi publik secara resmi (menurut hukum) diadakan untuk pelayanan masyarakat
3.       Organsasi publik tidak dimaksudkan untuk berkembang atau menjadi besar dengan merugikan organisasi publik yang lain
4.       Kesehatan organisasi publik  diukur melalui kontribusinya terhadap tujuan politik serta kemampuan mencapai hasil yang maksimum dengan sumber daya yang tersedia
5.       Kualitas pelayanan masyarakat yang buruk akan memberi  pengaruh politik yang negatif (Kasim, 1989 : 20)
Selanjutnya berbicara masalah produktivitas jelas tidak bisa dilepaskan dari pengukurannya (measurements). Pengukuran produktivitas bertujuan untuk melihat tingkat perubahan produksi barang dan jasa yang terjadi dalam kurung waktu tertentu. Menurut Sardjudin (1995 : 124), pengukuran ini bersifat netral, artinya memberikan informasi yang bermanfaat bagi tujuan analisis kemampuan kerja dan meneliti faktor-faktor input maupun output tertentu yang menyebabkan kenaikan atau penurunan produktivitas. Tingkat produktivitas ini dapat digunakan sebagai standar ukuran efisiensi dan hasil analisis pengukuran dapat digunakan untuk memadu upaya efektif dalam memperbaiki pengalokasian sumber daya.
Mengenai pengukuran produktivitas ini, Sumanth (1984 : 57) membaginya kedalam empat level yaitu ukuran produktivitas pada level internasional, level nasional, level industrial serta level organisasi atau perusahaan. Namun dalam pembahasan thesis ini, produktivitas pada level perusahaan atau organisasi dipandang paling relevan, sehingga konsep produktivitas inilah yang akan dikaji lebih mendalam.

Strategi Peningkatan Kinerja
Masalah produktivitas ini sangat berhubungan erat dengan masalah kinerja (permormance). Kinerja dalam suatu organisasi dapat dikatakan meningkat jika memenuhi indikator-indikator antara lain:
1.       Quality of work (kualitas hasil pekerjaan)
2.       Promptness (kelancaran dan ketetapan waktu)
3.       Initiative (prakarsa atau inisiatif)
4.       Capability (kecakapan atau kemampuan)
5.       Communication (komunikasi yang baik dan efektif) (Sedarmayanti 1995 : 53)
Dalam kerangka teoritis dan praktis untuk mewujudkan kinerja tinggi (high performance) dari suatu kelompok dalam organisasi, Gordon (1996 : 182-190) menawarkan beberapa strategi yang terdiri dari:
1.       penerapan kegiatan membangun team (implementing team-building activities)
2.       meningkatkan proses kelompok (improving group procces)
3.       membangun kekuatan dari factor-faktor perbedaan dan lintas budaya (building on the strengths of a diverse and cross-cultural work force)
4.       mengurangi konflik-konflik yang tidak diperlukan (reducing dysfunctional conflict)
Strategi  implementing team-building activities diawali dengan pengumpulan data-data tentang fungsi kelompok dalam organisasi dengan menggunakan instrumen tertentu yang paling tidak dapat menjaring lima aspek yakni:
1.       misi kelompok (team mission)
2.       pencapaian tujuan (goal achievement)
3.       partisipasi dan pemberdayaan (empowerment)
4.       komunikasi terbuka dan jujur (open honest communication)
5.       analisis data dan menerapkan hasil analisisnya kepada anggota kelompoknya
dari sini diharapkan setiap anggota kelompok memilki pandangan tentang tingkat kinerja mereka saat ini sehingga dapat menetapkan langkah berikutnya tentang acara membangun kinerja yang lebih baik.
Pada tahap berikutnya, strategi improving group procces dapat dilakukan dengan memperbesar usaha-usaha anggota kelompok, memberikan pengetahuan terhadap tugasnya secara memadai, serta menggunakan cara yang tepat untuk memelihara kualitas tugasnya. Disamping itu, upaya meningkatkan fungsi kelompok dapat ditempuh juga melalui pembentukan konfigurasi yang tepat mengenai tujuan, norma, peran maupun struktur organisasi. Dan terakhir, upaya untuk meyakinkan bahwa norma-norma yang dianut akan menghasilkan efektivitas tinggi bagi kelompok juga menjadi kunci untuk meningkatkan proses kelompok.
Strategi ketiga yang dikemukakan oleh Gordon (1996 : 188) adalah membuat perbedaan-perbedaan dalam kelompok yang menyangkut perbedaan usia, jenis kelamin, bahasa, kepercayaan maupun etnik / budaya menjadi keunggulan (advantage) kelompok organisasi dan bukannya menjadi penghambat. Beberapa keuntungan yang dapat dipacu dalam hal ini adalah :
1.       increased number of perspective
2.       multiple interpretations likely
3.       greater openness to new ideas
4.       increased flexibility and creativity
5.       improved problem solving
6.       improved understanding of foreign employess or customers
Adapun strategi keempat yang disarankan untuk memacu kinerja adalah mengurangi atau menghilangkan konflik-konflik yang akan menghambat fungsi kelompok atau fungsi organisasi. Meskipun demikian, ada juga konflik yang dapat meningkatkan komunikasi serta menggiring ke arah pemecahan masalah yang efektif sehingga konflik macam ini justru dapat menjadi wahana untuk membentuk tim yang tangguh.


Perubahan & Pengembangan Organisasi
Apabila diperhatikan, maka karakteristik organisasi terbuka mengisyaratkan bahwa organisasi selalu siap untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian atau pengembangan (organizational development). Menurut Henry (1988 : 86), pengembangan organisasi tersebut dilaksanakn melalui intervensi yang penuh perhitungan atas kerja organisasi yang aktif dengan menggunakan pengetahuan ilmu perilaku organisasi (organization behavior).
Sementara itu, beberapa pakar organisasi lain mengemukakan alasan penting bagi upaya pertumbuhan atau pengembangan organisasi sebagai berikut:
1.       mobilitas para eksekutif. Organisasi yang mengalami pertumbuhan merupakan tempat bekerja yang menarik bagi para eksekutif.
2.       Keinginan untuk menjadi lengkap (organization self-realization). Para pemimpin organisasi umumnya mempunyai keinginan agar organisasinya menjadi lengkap, mempunyai kegiatan yang lebih luas, dan mampu mencapai kemajuan (Starbuck).
3.       Faktor ekonomis. Pertumbuhan organisasi mampu membawa berbagai jenis keuntungan finansial.
4.       Kemampuan menjaga kelangsungan hidup (survival). Menjaga kelangsungan hidup mungkin merupakan alasan yang paling utama dalam pertumbuhan organisasi.
Dalam pada itu, Albercht (1985 : 37-39) mengajukan tiga macam pendekatan baru terhadap pengembangan organisasi yaitu:
1.       Pendekatan diffusion atau penyebaran
2.       Lingkage atau pertalian
3.       Pendekatan katalist
Konsep penyebaran berarti bahwa suatu organisasi akan menerapkan tindakan, metode, atau prosedur yang bermanfaat, jika ternyata organisasi yang lain telah menggunakannya dan nyata-nyata menghasilkan kemajuan. Konsep pertalian dimaksudkan untuk mencari dukungan orang-orang yang bersedia membantu di berbagai bagian strategis dalam organisasi itu untuk bertindak sebagai penjual gagasan atau agen perubahan, terutama dalam menganjurkan perubahan-perubahan khusus dan memperkenalkan kebiasaan-kebiasaan baru. Adapun konsep katalis artinya merangkaikan kejadian dalam program pengembangan organisasi melalui tahap-tahap:
1.       entry (keterlibatan konsultan)  
2.       sensing (membangun kesan tentang budaya organisasi)
3.       lock-on (menentukan aspek yang memerlukan perubahan)
4.       implementation (pelaksanaan)
5.       separation (menghilangkan ketergantungan)
dalam kaitan ini terdapat dua cara adaptasi yang dapat dilakukan oleh organisasi yaitu:
1.       melalui perubahan internal yaitu dengan menyesuaikan struktur internal oranisasi, pola organisasi, perencanaan dan aspek internal lainnya terhadap karakteristik lingkungan.
2.       Berusaha untuk menguasai dan mengubah kondisi lingkungan sehingga menguntungkan bagi organisasi.