rachmaa
Rabu, 11 April 2012
Download Gratis Contoh Makalah Pendidikan: Makalah Manajemen Kewirausahaan
Download Gratis Contoh Makalah Pendidikan: Makalah Manajemen Kewirausahaan: Sejarah kewirausahaan menunjukkan bahwa Wirausahawan mempunyai karakteristik umum serta berasal dari kelas yang sama. Para pemula revolu...
rachmaa: perilaku keorganisasian
rachmaa: perilaku keorganisasian: MANAJEMEN C2 BAHAN AJAR PERILAKU KEORGANISASIAN ...
perilaku keorganisasian
MANAJEMEN C2
BAHAN
AJAR
PERILAKU
KEORGANISASIAN
ANDI MAKKULAWU,
SE.M.Si
STIE TRI DHARMA
NUSANTARA
MAKASSAR 2012
Individu Kelompok Dan Organisasi
Teori
atau ilmu perilaku organisasi (Organization Behavior) pada hakikatnya
mendasarkan kajiannya pada ilmu perilaku itu sendiri (akar ilmu psikologi) yang
dikembangkan dengan pusat perhatiannya pada tingkah laku manusia dalam
organisasi. Dengan demikian kerangka dasar teori perilaku organisasi ini
didukung oleh dua komponen pokok, yakni individu-individu yang berperilaku dan
organisasi formal sebagai wadah dari perilaku tersebut.
Jadi,
perilaku organisasi adalah studi yang menyangkut aspek-aspek tingkah laku
manusia dalam organisasi atau dalam suatu kelompok tertentu. Aspek pertama
meliputi pengaruh organisasi terhadap manusia sedang aspek kedua pengaruh
manusia terhadap organisasi. Pengertian ini sesuai rumusan Kelly dalam
buku Organizational Behavior yang menjelaskan bahwa perilaku organisasi di
dalamnya terdapat interaksi dan hubungan antara organisasi di satu pihak dan
perilaku individu di lain pihak. Kesemuanya ini memiliki tujuan praktis yaitu
untuk mengarahkan perilaku manusia itu kepada upaya-upaya pencapaian tujuan.
Ruang Lingkup Perilaku Organisasi
Perilaku
organisasi sesungguhnya terbentuk dari perilaku-perilaku individu yang terdapat
dalam organisasi tersebut. Oleh karena itu sebagaiman telah disinggung diatas –
pengkajian masalah perilaku organisasi jelas akan meliputi atau menyangkut
pembahasan mengenai perilaku individu. Dengan demikian dapat dilihat bahwa
ruang lingkupp kajian ilmu perilaku hanya terbatas pada dimensi internal dari
suatu organisasi. Dalam kaitan ini aspek-aspek yang menjadi unsur-unsur, komponen
atau sub sistem dari ilmu perilaku organisasi antara lain adalah : motivasi,
kepemimpinan, stress atau konflik, pembinaan karir, masalah sistem imbalan,
hubungan komunikasi, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, produktivitas
dan atau kinerja (performance), kepuasan, pembinaan dan pengembangan
organisasi (organizational depelovment), dan sebagainya.
Sementara
itu aspek-aspek yang merupakan dimensi eksternal organisasi seperti faktor
ekonomi, politik, sosial, perkembangan teknologi, kependudukan dan sebagainya,
menjadi kajian dari ilmu manajemen strategik (strategic management).
Jadi, meskipun faktor eksternal ini juga memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap keberhasilan organisasi dalam mewujudkan visi dan misinya, namun tidak
akan dibahas dalam konteks ilmu perilaku organisasi.
Meskipun
unsur-unsur, komponen atau sub sistem yang akan dibahas bija jadi telah banyak
dipelajari pada displin ilmu yang lain, namun Mata Kuliah Perilaku Organisasi
akan mencoba menjawab, mengapa berbagai unsur atau komponen tadi dapat
membentuk karakter, sikap, dan atau perilaku individu dalam kapasitasnya
sebagai anggota suatu organisasi. Oleh karena itu, bobot atau muatan materinya
akan diusahakan agar memiliki sisi empiris yang cukup memadai. Untuk
kepentingan ini, maka pada session pembahasan akan diupayakan untuk dilengkapi
dengan kasus-kasus yang relevan sebagai instrumen untuk lebih memudahkan dalam
memahami perilaku organisasi.
Pendekatan Dalam Perilaku Organisasi
Dengan
adanyan interaksi atau hubungan antar individu dalam organisasi, maka
penelaahan terhadap perilaku organisasi haruslah dilakukan melalui
pendekatan-pendekatan sumber daya manusia (supportif), pendekatan
kontigensi, pendekatan produktivitas dan pendekatan sistem. Pendekatan sumber
daya manusia dimkasudkan untuk menbantu pegawai agar berprestasi lebih baik,
menjadi orang yang lebih bertanggung jawab, dan kemudian berusaha menciptakan
suasana dimana mereka dapat menyumbang sampai pada batas kemampuan yang mereka
miliki, sehingga mengarah kepada peningkatan keefektifan pelaksanaan tugas.
Pendekatan ini juga berarti bahwa orang yang lebih baik akan mencapai hasil
yang lebih baik pula, sehingga pendekatan ini disebut pula pendekatan supportif.
Sementara
itu, pendekatan kontigensi mengandung pengertian bahwa adanya lingkunagn yang
berbeda menghendaki praktek perilaku yang berbeda pula untuk mencapai
keefektifan. Disini pandangan lama yang mengatakan bahwa prinsip-prinsip
manajemen bersifat universal dan perilaku dapat pula berlaku dalam situasi
apapunk tidak dapat diterima sepenuhya.
Disisi
lain, pendekatan produktivitas dimaksudkan sebgai ukuran seberapa efisien suatu
organisasi dapat menghasilkan keluaran yang diinginkan. Jadi, produktivitas yang
lebih baik merupakan ukuran yang berniali tentang sberapa baik penggunaan
sumber daya dalam masyarakat.
Dalam
hal ini perlu diingat bahwa konsep produktvitas tidak hanya diukur dalam
kaitannya dengan masukan dan keluaran ekonomis, tetapi masukan manusia dan sosial
juga merupakan hal yang penting. Dengan demikian, apabila perilaku organisasi
yang lebih baik dapat mempertinggi kepuasan kerja, maka akan dihasilkan
keluaran manusia yang baik pula, dan pada akhirnya akan menghasilkan
produktivitas pada derajat yang diinginkan.
Adapun
pendekatan sistem terutama diterapkan dalam sistem sosial, dimana di dalamnya
terdapat seperangkat hubungan manusia yang rumit yang berinterkasi dlam banyak
cara. Ini berarti, dalam mengambil keputusan para manager harus mengkaji
hal-hal di luar situasi langsubg untuk menentukan dampaknya terhadap sistem
yang lebih besar, sehingga memerlukan analisis biaya dan manfaat (cost –
benefit analysis).
Antara
pendekatan sumber daya manusia dengan pendekatan produktivitas di atas memilki
kaitan yang sangat erat, dimana adanya dorongan pimpian terhadap karyawan untuk
melakukan tugasnya sebaik mungkin, secara langsung akan mendorong tingkat
produktivitas organisasi.
Motivasi dan Kepemimpinan
Kebutuhan
atau keinginan seorang pekerja terhadap sesuatu hal tertentu akan diusahakn
untuk bisa dicapainya, dalam kajian ilmu administrasi sering disebut dengan
istilah motivasi. Motivasi adalah proses psikologis yang merupakan salah satu
unsure pokok dalam perilaku seseorang. Sebagaimana dikemukakan Miftah Thoha,
perilaku seseorang itu sebenarnya bisa dikaji sebgai saling berinteraksinya
atau ketergantungannya unsure-unsur yang merupakan suatu lingkaran. Unsur-unsur
itu secara pokok terdiri dari motivasi dan tujuan. Atau menurut Fred Luthans,
terdiri dari tiga unsur yakni
1. kebutuhan
(needs)
2. dorongan
(drive)
3. tujuan
(goals).
Dalam
kaitannya dengan pencapaian tujuan organisasi, salah satu aspek organisasi yang
penting disamping motivasi, adalah kepemimpinan (leadership).
Bagi
sebuah organisasi, kepemimpinan jelas sekali mempunyai peran yang sangat
penting. Sebab, adanya kepemimpian berarti terjadinya proses membantu dan
mendorong orang lain untuk bekerja dengan antusias mencapai tujuan. Jadi, faktor
manusia atau pimpinanlah yang mempertautkan kelompok dan memotivasinya untuk
mencapai tujuan, atau kepemimpinan juga mengubah yang tadinya hanya kemungkinan
menjadi kenyataan.
Seorang
pemimpin yang menjalankan fungsi kepemimpinannya dengan segenap filsafat, keterampilan
dan sikapnya, secara keseluruhan dipersepsikan oleh karyawannya sebagai gaya
kepemimpinan (leadership style). Gaya tersebut bisa berbeda-beda atas
dasar motivasi, kuasa ataupun orientasi terhadap tugas atau orang tertentu.
Diantara
gaya kepemimpianan, terdapat pimpinan yang negatif dan positif, dimana
perbedaan itu didasarkan pada cara dan upaya mereka memotivasi karyawan.
Apabila pendekatan dalam pemberian motivasi ditekankan pada imbalan atau reward
(baik ekonomis maupun non ekonomis), berarti telah digunakan gaya kepemimpinan
yang positif.
Sebaliknya,
jika pendekatannya ditekankan pada hukuman atau punishment, berarti dia
menerapkan gaya kepemimpinan negative. Pendekatan kedua ini dapat menghasilkan
prestasi yang diterima dalam banyak situasi, tetapi menimbulkan kerugian
manusiawi.
Selain
gaya kepempinan di atas, terdapat gaya lainnya yaitu gaya otokratik, partisipatif,
dan bebas kendali (free rein atau laissez faire). Pemimpin otokratik
memusatkan kuasa dan pengambilan keputusan bagi dirinya sendiri, dan menata
situasi kerja yang rumit bagi pegawai sehingga mau melakukan apa saja yang
diperintahkannya. Kepemimpinan ini pada umumnya negatif, yang berdasarkan atas
ancaman dan hukuman.
Sementara
itu, pemimpin partisipatif lebih banyak mendesentralisasikan wewenang yang
dimilikinya sehingga keputusan yang diambil tidak bersifat sepihak. Adapun
pemimpin bebas kendali menghindari kuasa dan tanggung jawab, kemudian
menggantungkan pada kelompok baik dalam menetapkan tujuan dan menanggulangi masalahnya
sendiri. Diantara ketiganya, kecenderungan umum yang terjadi adalh ke arah
penerapan praktek partisipasi secara lebih luas karena dianggap paling
konsisten dengan perilaku organisasi yang supportif.
Aspek-Aspek Lain Dalam Perilaku Organisasi
Selain
masalah motivasi dan kepemimpinan, ilmu perilaku organisasi mengkaji juga
beberapa aspek strategis dalam organisasi dalam pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan, komunikasi, stress dan konflik, produktifitas dan atau
kinerja, dan sebagainya. Keseluruhan aspek ini selalu terkait dengan masalah
perilaku manusia dalam organisasi, sehingga aspek-aspek strategis itupun akan
sangat tergantung kepada proses pembentukan perilaku maupun baik buruknya
perilaku manusia itu sendiri.
Dalam
proses pengambilan keputusan misalnya, ternyata dalam setiap tahapnya akan
terdapat perilaku orang yang beraneka ragam, dari yang pendiam dan menyerahkan
sepenuhnya kepada orang lain, monopoli dan ingin memaksakan kehendak, sampai
dengan sikap sok-sok tahu atau menyembunyikan informasi.
Dalam
proses pengambilan keputusan pada khususnya dan dalam setiap aktivitas
organisasional pada umumnya, akan terjalin suatu hubungan interpersonal atau
komunikasi antar anggotanya. Sebagaimana halnya pada proses pengambilan
keputusan maka proses komunikasipun sering menghadapi kegagalan dan hambatan
yang bersumber dari sikap dan perilaku orang yang berbeda-beda, seperti sikap
asertif, non asertif, atau bahkan agresif.
Kondisi-kondisi
tidak berjalannya proses-proses keorganisasian seperti yang diharapkan ini pada
gilirannya akan dapat menimbulkan stress pada anggota organisasi, sekaligus
membawa kemungkinan munculnya konflik baik- dalam pengertian yang positif
maupun yang negatif.
Definisi Organisasi
Organisasi
dalam pandangan beberapa pakar seolah-olah menjadi suatu “binatang” yang
berwujud banyak, namun tetap memilki kesamaan konseptual. Atau dengan kata
lain, rumusan organisasi sangat tergantung pada konteks dan perspektif tertentu
dari seseorang yang merumuskan tersebut. Dari beberapa definisi atau pembatasan
mengenai organisasi ini, dapat dikemukakan sbb:
a. Oraganisasi
merupakan suatu pola kerjasama antara orang-orang yang terlibat dalam kegiatan
yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan tertentu. Wexlwy and Yulk
(dalam Kasim, 1993 : 1)
b.
Organisasi adalah sekelompok orang yang
terbiasa mematuhi perintah para pimpinannya dan yang tertarik pada kelanjutan
dominasi partisipasi mereka dan keuntungan yang dihasilkan, yang membagi
diantara mereka praktek-praktek dari fungsi tersebut yang siap melayani untuk
praktek mereka (Max Weber, dalam Miftah thoha, 1988)
c. Organisasi
dapat didefinisikan sebagai struktur hubungan kekuasaan dan kebiasaan
orang-orang dalam suatu sistem administrasi (Dwight Waldo, dalam Thoha,
1988)
d.
Organisasi adalah suatu sistem dari
aktivitas-aktivitas orang yang terkoordinasikan secara sadar, atau
kekuatan-kekuatan dari dua orang atau lebih (Chester Barnard, dalam Thoha,
1992)
e. Organisasi
adalah lembaga sosial dengan cirri-ciri khusus : secara sadar dibentuk pada
suatu waktu tertentu, para pendirinya mencanangkan tujuan yang biasanya
digunakan sebagai simbol legitimasi, hubungan antara anggotanya dan sumber
kekuasaan formal ditentukan secara relatif jelas walaupun seringkali pokok
pembicaraan dan perencanaan diubah oleh para anggota-anggotanya yang
membutuhkan koordinasi dan pengawasan (Silverman, dalam Thoha, 1988)
f.
Organisasi adalah suatu kesatuan (entity)
social yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif
dapat diidentifikasikan, yang bekerja atas dasar yang relatif terus-menerus
untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan (Stephen P.
Robbins)
g. Organisasi
sebagai suatu kesatuan sosial dari kelompok manusia yang saling berinteraksi
menurut suatu pola tertentu sehingga setiap anggota organisasi memilki fungsi
dan tugasnya masing-masing yang sebagai suatu kesatuan mempunyai tujuan
tertentu dan mempunyai batas-batas yang jelas, sehingga bisa dipisahkan secara
tegas dari lingkungannya (Hary Lubis dan Martani Huseini, 1987 : 1)
h. Organisasi
merupakan suatu alat untuk pencapaian tujuan dari orang-orang yang berada
diluar organisasi tersebut, sebagai alat untuk pencapaian tujuan.
Dari beberapa penegrtian diatas dapat
disimpulkan bahwa organisasi sesungguhnya merupakan kumpulan manusia yang
diintegrasikan dalam suatu wadah kerjasama untuk menjamin tercapainya
tujuan-tujan yang ditentukan. Atau menurut Sudarsono Hardjosoekarto,
pengertian yang dapat menyamakan persepsi tentang organisasi adalah bahwa
organisasi merupakan jalinan kontrak (a nexus of contracts).
Sedangkan hal yang membedakan
organisasi yang satu dengan oragnisasi yang lainnya dalam kerangka teori Mc.
Kinsey, adalah structure, strategy, style (leadership), skill, staff, share
value, dan system. Dalam hal struktur, beberapa organisasi lebih senang memilih tipe garis atau lini, sementara organisasi lain memilih
tipe garis dan staf, tipe kepanitian, atau tipe fungsional. Dalam aspek
strategi, ditemukan perbedaan menngenai pencapaian tujuan organisasi dalam
jangka panjang dan jangka pendek. Kemudian dalam aspek gaya kepemimpinan atau
style, ada pemimpinan organisasi yang
menonjolkan sifat-sifat karismatik, otoriter, partisipatif demokratik, dan
sebagainya.
Selanjutnya dalam aspek keahlian,
jelas bahwa setiap organisasi akan membutuhkan keahlian yang spesifik sesuai
dengan misi dan tujuan yang akan diraihnya. Begitu juga dalam aspek staf,
organisasi yang bergerak dibidang pengantaran (delivery) misalnya, akan
sangat berbeda kualifikasi staffnya disbanding dengan organisasi konsultansi.
Sedangkan aspek share value maksudnya bahwa seluruh aspek yang telah disebutkan
di atas, pada akhirnya difokuskan kepada superordinate goals, atau tujuan
organisasi yang lebih tinggi. Dalam kaitan ini, jelas bahwa tujuan yang lebih
tinggi dari setiap organisasi akan berbeda-beda pula.
Dari beberapa pengertian tentang
organisasi tersebut di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa cakupan organisasi
tidak hanya meliputi bentuk-bentuk kelembagaan formal seperti pemerintah maupun
organisasi bisnis, tetapi lebih dari itu juga meliputi setiap kontrak
(perjanjian) yang terjadi antara dua orang / pihak atau lebih. Atau dengan kata
lain, organisasi tidak hanya diartikan sebagai wujud saja tetapi juga sebagai
proses interaksi berbagai pihak.
Pendekatan Terhadap Organisasi
Cakupan teori organisasi sesungguhnya
sangat luas, sehingga tidak mengherankan jika studi mengenai organisasi dapat
dilakukan menurut berbagai sudut pandang yang berbeda. Sebagai konsekuensinya,
kemudian muncullah bermacam-macam pendekatan dalam teori organisasi, yang
masing-masing sangat dipengaruhi oleh cara yang digunakan untuk meninjau
masalah organisasi. Keseluruhan pendekatan ini, paling tidak dapat dipisahkan
menjadi tiga macam yaitu pendekatan klasik, pendekatan neo klasik, dan
pendekatan modern.
Pendekatan klasik yang diilhami oleh
konsep Taylor pada tahun 1919, mengajarkan bahwa dalam suatu organisasi
perlu diadakan pembatasan secara tegas antara kegiatan pelaksanaan dan
operasional dengan tugas-tugas manajerial. Dengan kata lain, para pekerja
seperti tukang-tukang atau operator mesin hanya bertugas sebagai pelaksana
saja, sementara tugas untuk merencanakan metode kerja, pengorganisasian atau
pengkoordinasian selalu dilakukan oleh pihak manajemen.
Adapun pendekatan modern secara tegas
menyatakan bahwa yang dimilki saat ini bukanlah mengenai teori organisasi
tetapi cara berfikir (way of
thingking) mengenai organisasi, cara melihat dan menganalisa secara lebih
tepat dan mendalam yang dilakukan melalui keteraturan (regularitas)
perilaku orgnisasi, yang hanya berlaku untuk suatu lingkungan atau kondisi
tertentu. Dengan demikian kumpulan fakta bukanlah organisasi. Input yang
diberikan oleh organisasi seringkali sumbernya dikuasai oleh organisasi lain
yang terdapat pada lingkungannya, sehingga organisasi terpaksa mempunyai
ketergantungan sumber terhadap lingkungannya. Jika tingkat ketergantungan ini
tidak terlalu besar seperti yang terjadi pada lingkungan Tenang – Acak maka organisasi
tidak perlu terlalu memperhatikan lingkungannya dan dapat memusatkan
perhatiannya terhadap kegiatan produksi.
Karakteristik Organisasi : Mekanik dan
Organik
Sesaat setelah individu-individu
membentuk kelompok dan bersepakat membentuk organisasi, maka pada tahap
selanjutnya, sekumpulan orang ini memberikan karakteristik, bentuk dan sifat
kepada organisasi yang menampung mereka. Dalam kaitan ini, secara umum bentuk
organisasi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu organisasi mekanik dan
organic. Sedangkan dilihat dari sifatnya, organisasi dapat dikelompokkan
menjadi organisasi dengan sistem tertutup (close system) dan organisasi
bersistem terbuka (open system).
Paradigma mekanik (mechanism paradigm)
menganggap organisasi sebagai suatu mesin
yang bekerja dengan suatu keteraturan dan keajegan tertentu yang
menekankan adanya suatu tingkat produktivitas tertentu, yang ingin dicapai
taraf efisiensi tertentu, dan yang dikendalikan oleh suatu legitimasi otoritas
pimpinan (Thoha, 1988 : 133). Dalam model organisasi mekanik ini tujuan
organisasi dapat dicapai secara efektif dan effisien melalui mekanisme
pembagian kerja, spesialisasi dan hubungan kerja yang hierarkhis.
Ajaran ini terutama banyak
dikembangkan dari pandangan Adam Smith dan Frederick Taylor
yang mengusulkan adanya pembagian efisien dari tenaga kerja melalui hierarki
vertikal (Obolensky, 1996 : ix-x). dengan kata lain, menurut paradigma
mekanik – efesiensi dalam organisasi dapat ditingkatkan hanya apabila terdapat
penegrangkaan (structuring) dan pengendalian (controlling)
terhadap partisipasi anggota organisasi.
Sebaliknya paradigma organic (organism
paradigm) memandang organisasi sebagai suatu sistem yang menekankan pada
unsure manusia sebagai pelaku utama. Dalam model organisasi ini, efisiensi dan
efektivitas bukan merupakan aspek utama dalam pencapaian tujuan organisasi,
sebab produk (output) tidak dipandang sebagai hal yang utama. Aspek yang
dianggap lebih penting dalam organisasi model organik ini adalah adanya
keseimbangan antara faktor manusia dengan faktor lingkungannya.
Dikaitkan dengan sifat organisasi,
maka pada paradigma mekanik, organisasi lebih menganut sistem tertutup (close
system), dimana organisasi dilihat sebagai suatu kesatuan yang merdeka
serta tidak ada ikatan dengan variable-variabel lainnya (Thoha, 1988 : 133).
Dengan demikian jika muncul berbagai persolan maka faktor penyebab serta metode
pemecahannya selalu dikembalikan pada internal faktor seperti susunan
organisasi, tugas pokok dan fungsi, atau hubungan formal sedangkan faktor-faktor
lingkungan diluar organisasi (external factors) yang mempunyai
kontribusi juga terhadap munculnya persoalan tersebut, justru tidak
diperhitungkan.
Selama ini paradigma organisasi
mekanik banyak diterapkan pada sistem kelembagaan pemerintah yang antara lain
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Adanya
spesialisasi tugas
2. Mengutamakan
sarana dan pertanggungjawaban
3. Inisiatif
penyelesaian konflik di dalam organisasi berasal dari atasan
4. Interaksi
antar anggota organisasi cenderung vertical dengan
5. Gaya yang
diarahkan untuk mencapai kepatuhan
6. Kentalnya
sistem komando dan hubungan struktural antara atasan dengan bawahan
Dengan ciri-ciri demikian model organsasi
mekanik juga disebut sebagai model birokratis, yang menurut Weber justru
merupakan tipe ideal dari organisasi (Thoha, 1988 : 138).
Pada suatu milieu masyarakat dengan
tingkat kehidupan yang relatif statis atau pada suatu lingkungan yang belum
banyak menerima arus perubahan dari lingkungan sekitarnya, maka tipe organisasi
ini dapat berjalan dengan baik serta dapat menjadi instrumen yang efektif dalam
rangka mencapai tujuan bersama.
Akan tetapi pada masyarakat yang
tingkat kehidupannya tinggi dan dinamis serta banyak berinteraksi dengan
kelompok-kelompok lainnya yang seringkali lebih besar, maka sifat-sifat dan
ciri-cirinya yang kaku jelas tidak dapat dipertahankan lagi. Model organisasi
mekanik ini banyak berpengaruh terhadap administrasi Negara khususnya di
Negara-negara sedang berkembang sebab organisasi di lingkungan pemerintahan
bercirikan model organisasi birokrasi yaitu stuktur organisasi tipikal yang
berusaha mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan manusia di dalam suatu organisasi (Bennis
dalam Thoha, 1988 : 151)
Tipe-tipe organisasi
Tipe atau bentuk organisasi yang kita
saksikan selama ini sangat bervariasi dan berbeda-beda tergantung dari aspek
atau sudut pandang masing-masing. Dari sisi kepemilikan dan pengelolanya
terdapat organisasi swasta dan organisasi pemerintah. Dilihat dari bidang
kegiatannya dapat dibedakan antara organisasi politik, sosial, pemuda, dll.
Akan tetapi, berdasarkan tinjauan dari
segi wewenang, tanggung jawab, serta hubungan kerja dalam organisasi dapat
dikemukakan adanya empat tipe atau bentuk organisasi yaitu:
1. Organisasi
Garis (line organization) adalah tipe organisasi yang tertua dan paling
sederhana, dimana tugas-tugas perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan berada di
satu tangan dan garis kewenangan langsung dari pimpinan kepada bawahannya
2. Organisasi
garis dan staff (line and staff organization), tipe ini biasanya
digunakan untuk organisasi yang besar, daerah kerjanya luas dan mempunyai
bidang-bidang tugas yang beraneka ragam atau rumit
3. Organisasi
panitia (committee organization), ciri-ciri dari organisasi ini antara
lain memiliki tugas tertentu dan jangka waktu berlakunya terbatas
4. Organisasi
fungsional (functional organization) adalah organisasi yang disusun
berdasarkan sifat dan macam fungsi yang harus dilaksanakan
Asas-asas Pengorganisasian Kelembagaan
Untuk dapat mencapai tujuannya secara
berhasilguna dan berdayaguna maka suatu organisasi perlu menerapkan asas-asas
tertentu dalam pengorganisasian kelembagaannya. Adapun asas-asas kelembagaan
yang perlu dipertimabngkan dalam suatu organisasi (khususnya di lingkungan
aparatur pemerintah), secara lengkap dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Asas
pemabgian tugas
Suatu
instansi dapat melaksanakan sendiri tugas yang menjadi tanggung jawabnya tanpa
adanya kerjasama dengan instansi lain yang terkait. Sesuai dengan asas ini maka
perlu adanya perumusan tugas yang jelas sehingga dapat dicegah duplikasi,
benturan dan kekaburan.
2. Asas
fungsionalisasi
Pada
gilirannya asas ini akan menentukan mekanisme koordinasi dalam arti bahwa
instansi atau satuan kerja yang secara fungsional paling bertanggungjawab
tersebut berkewajiban untuk memprakarsainya.
3. Asas
koordinasi
Asas ini
menekankan agar dalam penyusunan kelembagaan memungkinkan terwujudnya
koordinasi yang mantap dalam pelaksanaan tugas-tugasnya.
4. Asas
kesinambungan
Asas
kesinambungan mengharuskan adanya institusialisasi dalam pelaksanaan dalam arti
bahwa tugas-tugas (tugas umum pemerintahan dan pembangunan) harus berjalan
secara terus menerus sesuai dengan kebijaksanaan dan program yang telah
ditetapkan tanpa tergantung pada diri pejabat / pegawai tertentu.
5. Asas
keluwesan
Asas
keluwesan menghendaki agar organisasi selalu mengikuti dan menyesuaikan diri
dengan perkembangan dan perubahan keadaan sehingga dapat dihindari kekakuan
dalam pelaksanaan tugasnya.
6. Asas
akordion
Asas
akordion menentukan bahwa organisasi dapat berkembang atau mengecil sesuai
dengan tuntutan tugas dan beban kerjanya. Namun demikian pengembangan /
penciutan suatu organisasi tidak boleh menghilangkan fungsi yang ada.
7. Asas
pendelegasian wewenang
Asas ini
menentukan tugas-tugas yang perlu didelegasikan dan tugas-tugas yang masih harus
dipegang pimpinan. Sebagai konsekuensi dari asas pelimpahan wewenang tersebut
maka setiap unit yang menerima pelimpahan tersebut harus mampu melaksanakan
wewenang dan tugas-tugas yang dilimpahkan.
8. Asas
rentang kendali
Dalam asas
rentang kendali ini dimaksudkan agar dalam menentukan jumlah satuan organisasi
atau orang yang dibawahi oleh seorang pejabat pimpinan, diperhitungkan secara
rasional mengingat terbatasnya kemampuan seorang pimpinan / atasan dalam
mengadakan pengendalian terhadap bawahannya.
9. Asas jalur
dan staff
Agar
terdapat kejelasan antara tugas pokok dan penunjang maka dalam pengorganisasian
kelembagaan aparatur pemerintah digunakan asas jalur dan staff. Asas jalur dan
staff adalah asas yang menentukan bahwa dalam penyusunan organisasi perlu
dibedakan antara satuan-satuan organisasi yang melaksanakan tugas pokok
instansi dengan satuan-satuan yang melaksanakan tugas-tugas penunjang.
10. Asas
kejelasan dalam pembaganan
Asas
kejelasan dalam pembaganan mengharuskan setiap organisasi menggambarkan susunan
organisasinya dalam bentuk bagan, agar setiap pihak yang berkepentingan dapat
segera memahami kedudukan dan hubungan dari setiap satuan organisasi yang ada.
Pengertian motivasi
Salah
satu tantangan yang dihadapi oleh pimpinan dalam organisasi adalah bagaimana
mereka dapat menggerakkan para pegawainya agar mau dan bersedia mengerahkan
kemampuan terbaiknya untuk kepentingan organisasi. Untuk itu, seorang pimpinan
harus selalu dapat memelihara semangat, kesadaran dan keseungguhan dari
karyawannya untuk terus menunjukkan kinerja yang optimal. Dengan kata lain,
salah satu tantangan berat dari organisasi adalah bagaimana motivasi karyawan
dapat tumbuh dan terbina dengan baik.
Istilah
motivasi sendiri secara taksonomi berasal dari kata latin “movere” yang
artinya bergerak. Adapun beberapa definisi tentang motivasi dapat dikemukakan
sebagai berikut:
1. Motivasi
adalah proses pengembangan dan pengarahan perilaku atau kelompok, agar individu
atau kelompok itu menghasilkan keluaran (output) yang diharapkan sesuai dengan
sasaran atau tujuan yang ingin dicapai organisasi (Ensiklopedi Manajemen,
Ekonomi dan Bisnis, 1993 : 432-433).
2. Motivasi
adalah daya pendorong yang mengakibatkan seorang organisasi mau dan rela untuk
mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau keterampilan, tenaga dan
waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya
dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai
sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian, 1986 : 132)
3. Motivation
has to do with a set of independent / dependent variable relationship that
explain the direction, and persintence of individual’s behavior, holding
constant the effects of attitude, skill and understanding of the task, and the
constraints operating in the environment (Campbell and Pritchard dalam
Streers and Porter, 1991 : 5)
4. Motivation
primarily corcerned with :
-
What energizes human behavior
-
What direct or channels such behavior
-
How this behavior is maintained or sustained (Steers
and Porter, 1991 : 6)
Dimensi Motivasi : Kebutuhan – Dorongan –
Tujuan
Beberapa
hal yang biasanya terkandung dalam devinisi motivasi antara lain adalah
keinginan, harapan, kebutuhan, tujuan, sasaran, dorongan dan insentif. Atau
seperti telah disinggung pada bab pendahuluan, motivasi mengandung tiga
komponen penting yang saling berkaitan erat yaitu kebutuhan, dorongan dan
tujuan.
Kebutuhan
timbul dalam diri individu apabila ia merasa adanya kekurangan dalam dirinya yaitu
dalam pengertian homeostatik adanya ketidakseimbangan antara apa yang dimiliki
dengan apa yang menurut persepsi yang bersangkutan seyogyanya dimilikinya baik
dalam arti fisiologis maupun psikologis. Untuk mengatasi ketidakseimbangan
tersebut, dalam diri individu akan timbul dorongan berupa usaha pemenuhan
kekurangan secara terarah. Karena itu, dorongan ini biasanya berorientasi pada
tindakan tertentu yang secara sadar dilakukan oleh seseorang dan hal ini
merupakan inti dari motivasi. Adapun komponen ketiga dari motivasi yaitu tujuan
merupakan sesuatu yang menghilangkan kebutuhan dan mengurangi dorongan.
Pencapaian tujuan berarti mengembangkan keseimbangan dalam diri seseorang baik
yang bersifat psikologis maupun fisiologis.
Pemahaman
terhadap motivasi individu berkaitan erat pula dengan pemahaman tentang motif
yaitu kebutuhan, keinginan, tekanan, dorongan dan desakan hati yang
membangkitkan dan mempertahankan gairah individu untuk mengerjakan sesuatu.
Teori
motivasi yang menekankan pendekatan pada motif, pertama kali diketengahkan oleh
Woodworth yang mengembangkan motif sebagai the reservoir of energy
that imples an organism to behave in certain way.
Sedangkan
Hull menyatakan bahwa motif merupakan an energizing influence with
determined the intencity of behavior, and with teoritically increased along
with the level of deprivation (dalam Steer and Porter, 1991 : 11).
Dengan
kata lain dapat disimpulkan bahwa motif itulah yang menimbulkan adanya motivasi
individu untuk melakukan pekerjaannya. Motif itu sendiri dapat berasal dari
luar individu misalnya motif berupa tekanan dari atasan, atau dapat pula
berasal dari dalam individu misalnya terdorong keinginan atau kebutuhannya.
Salah
satu variabel yang dapat meningkatkan individu adalah adanya insentif (Hull,
dalam Steers and Porter, 1991 : 12). Insentif adalah alat-alat yang
digunakan dalam mendorong orang melakukan sesuatu. Insentif yang dapat
menyebabkan orang mau bekerja sebaik mungkin itu dapat berupa uang (financial)
atau bukan uang (non financial).
Insentif
financial antara lain dapat berbentuk upah, gaji, jaminan sosial seperti
asuransi, pensiun, uang cuti, hadiah, bonus, dan sebagainya. Insentif jenis ini
dianggap membantu menarik karyawan yang lebih berkualitas, mengurangi turn
over, dan meningkatkan semangat kerja. Sedangkan insentif non financial
ini memberi peluang untuk mengembangkan inisiatif pribadi serta kesempatan
berprestasi. Banyak penelitian telah membuktikan adanya dampak positif
insentif non financial terhadap hasil karya. Kesempatan untuk maju,
tantangan dalam pekerjaan, tanggungjawab, supervise yang efektif, kondisi kerja
yang baik, serta acara rekreasi adalah beberapa contoh insentif non
financial.
Teori-teori Motivasi
Teori-teori
motivasi yang biasanya dikenal paling tidak ada empat macam yaitu :
1. Teori
hirarki kebutuhan (hierarchy of needs) Maslow
2. Teori ERG
Alderfer
3. Teori
kebutuhan untuk maju (needs for achievement) McClelland
4. Teori dua
faktor Herzberg
Perbandingan antara keempat teori tersebut
dapat dilihat pada tabel sbb:
Khususnya
mengenai salah satu unsur atau komponen motivasi yaitu kebutuhan, Maslow
(1993 : 43-57) telah mengembangkan suatu konsep teori yang dikenal dengan
hirarki kebutuhan / hierarchy of needs. Menurut Maslow,
kebutuhan-kebutuhan manusia dengan sendirinya membentuk semacam hirarki yakni
dari kebutuhan fisik (psyologocal needs), kebutuhan akan keselamatan
atau rasa aman (safety and security needs) kebutuhan sosial (belongingness
and love), kebutuhan akan penghargaan dan status (esteem and status)
sampai dengan kebutuhan akan perwujudan atau aktualisasi diri (self-actualization).
Kebutuhan
pada tingkat pertama dan kedua biasa dikelompokkan dalam kebutuhan tingkat
rendah sedang kebutuhan pada tingkat ketiga sampai dengan kelima termasuk
kebutuhan tingkat tinggi. Meskipun hirarki kebutuhan yang disusun Maslow
ini mengandung banyak pembatasan namun memberikan gagasan yang baik untuk
membantu para manager dalam memotivasi pegawai. Hal ini penting, karena apabila
kebutuhan pada tingkat rendah tidak terpenuhi, maka tidak satupun kebutuhan
pada tingkat tinggi akan dapat dicapai.
Menurut
Gordon (1996 : 116), kebutuhan fisik atau fisiologis adalah kebutuhan
paling dasar dari hidup manusia seperti makan, air, dan kebutuhan seksual,
termasuk didalamnya dalah perlindungan kesehatan. Kebutuhan keselamatan dan
rasa aman menggambarkan dorongan setiap orang untuk mencari perlindungan. Untuk
memenuhi kebutuhan ini, suatu perusahaan mislanya akan mengeluarkan
kebijaksanaan berupa larangan merokok di tempat kerja, menjalin kerjasama
dengan perusahaan asuransi serta penerapan prosedur-prosedur keamanan di
daerah-daerah “larangan”.
Selanjutnya
kebutuhan rasa memilki dan kasih sayang menekankan pada aspek sosial dari
pekerjaan. Hal ini berarti bahwa setiap orang ingin mengadakan hubungan interpersonal
atau interaksi sosial dengan orang lain. Dalam konteks organisasi maka
pencapaian tujuan tidak mungkin diupayakan oleh orang atau pihak tertentu,
melainkan diselenggarakan secara bersama-sama dalam suatu team work.
Dengan kata lain lahirnya organisasi adalah perwujudan konkret dari adanya
kebutuhan manusia akann hubungan sosial atau belongingness and love ini.
Kebutuhan
akan status dan penghargaan biasanya ditunjukkan adanya kebutuhan terhadap simbol-simbol
kesuksesan, seperti gelar kesarjanaan, pengakuan dari orang lain, pemilkian
barang-barang pribadi yang mewah. Dengan adanya kebutuhan ini orang ingin
mendemonstrasikan kemampuannya serta membangun reputasi dan performansi yang
bisa dibanggakan di depan orang lain. Adapun kebutuhan aktualisasi diri
merefleksikan hasrat individu tiap-tiap orang untuk tumbuh dan berkembang atas
dasar potensinya secara optimal. Orang-orang seperti ini biasanya selalu
menginginkan adanya tantangan atau peluang dalam bekerja dan disertai adanya
hasrat untuk mandiri dan menunjukkan tanggung jawab penuh.
Satu
hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa teori motivasi yang dikemukakan Maslow
(dan juga oleh pakar lain) tidak dapat dianalisis secara parsial. Artinya,
seseorang yang telah berada pada tingkat kebutuhan tertinggi bukan berarti
tidak membutuhkan lagi kebutuhan lainnya. Jadi, sifat pemenuhan setiap
kebutuhan di atas sifatnya kumulatif bukan bersifat menggantikan atau
melengkapi (untuk analogi : bandingkan dengan teori 5 tahap perkembangan
masyarakat dari Rostow).
Hasil studi Maslow ini
diperluas lebih lanjut oleh Herzberg, yang menyebutkan bahwa terdapat
dua perangkat faktor terpisah yang mempengaruhi motivasi. Pandangan tradisional
berasumsi bahwa motivasi dan kurangnya motivasi hanya merupakan dua hal yang
bertentangan dalam satu kontinum.
Herzberg menolak
anggapan ini dengan menyatakn bahwa faktor pekerjaan tertentu hanya membuat
pegawai tidak puas apabila tidak ada kondisi tertentu. Dengan demikian Herzberg
membedakan antara faktor iklim baik (hygiene factors) atau faktor
pemeliharaan sebagai faktor yang diperlukan untuk mempertahankan tingkat kepuasan
dalam diri pegawai dengan faktor motivasi (Davis and Newstrom, 1993 : 71-72)
yakni kondisi kerja yang terutama berfungsi untuk menimbulkan motivasi. Faktor
motivasi terutama berhubungan dengan isi pekerjaan (job content),
sedangkan faktor pemeliharaan berhubungan dengan isi pekerjaan (job context)
karena lebih berkaitan dengan lingkungan di sekitar pekerjaan. Oleh karena
teori Herzberg ini membagi kedalam dua faktor maka teorinya sering
dikenal dengan two-faktor model of motivation.
Perluasan lebih lanjut dari teori Herzberg
dan Maslow datang dari usaha Alderfer. Dia memperkenalkan tiga
kelompok inti dari kebutuhan yakni kebutuhan akan keberadaan (existence),
kebutuhan berhubungan (relatedness) dan kebutuhan untuk berkembang (growth
need). teori ini sering disebut juga dengan teori ERG.
Apabila dibandingkan dengan teori Herzberg
dan Maslow kebutuhan akan keberadaan kira-kira sama artinya dengan
kebutuhan fisik / fisiologisnya Maslow atau faktor pemeliharaannya Herzberg.
Kebutuhan berhubungan bisa dipersamakan dengan kebutuhan sosial atau faktor
pemeliharaan sedangkan kebutuhan untuk berkembang identik dengan kebutuhan
aktualisasi diri dan faktor motivasi. Dalam hal ini, Alderfer lebih
menyukai perincian kebutuhan yang didasari pada kontinum, daripada dengan
hirarki seperti Maslow atau dua faktor kebutuhan dari Herzberg. Alderfer
juga menyatakan bahwa tingkat yang di bawah harus dipenuhi terlebih dahulu
sebelum memuaskan diatasnya. Menurut (Thoha 1993 : 228) teori Alderfer
masih menunjukkan sifat-sifat umum dan kurang mampu menjelaskan kompleknya
teori motivasi disamping kurang memberikan kesiapan untuk bisa diterjemahkan ke
dalam komplek manajemen.
Tokoh motivasi lain yang melakukan
penelitian tentang desakan manusia untuk berprestasi adalah Mc. Clelland.
Berdasarkan hasil penelitiannya dapat dikemukakan bahwa kebutuhan untuk
berprestasi itu adalah suatu motif yang berbeda dan dapat dibedakan dari
kebutuhan-kebutuhan lainnya. Menurut Mc. Clelland seseorang dianggap
mempunyai motivasi untuk berprestasi jika ia mempunyai keinginan untuk melakukan
sesuatu karya yang lebih baik dari prestasi karya orang lain. Dalam kaitan ini Mc.
Clelland mengelompokkan adanya tiga macam kebutuhan yaitu kebutuhan untuk
berprestasi, kebutuhan untuk berafiliasi dan kebutuhan untuk kekuasaan. Adapun
beberapa karakteristik dari orang-orang yang berprestasi tinggi antara lain:
1. Suka
mengambil resiko yang moderat
2. Memerlukan
umpan balik yang segera
3. Memperhitungkan
keberhasilan
4. Menyatu
dengan tugas (Thoha, 1993 : 229-232)
Pengembangan teori Mc. Clelland ini
sesungguhnya bisa dikatakan diilhami oleh ajaran Etika Protestan yang
dikemukakan Weber. Menurut paham ini seseorang sudah ditakdirkan masuk
neraka atau masuk surga. Orang-orang yang akan masuk surga sudah dapat dilihat
tanda-tandanya selama hidup di dunia yaitu mereka yang kaya, pandai dan sukses
dalam hidupnya. Sementara orang-orang miskin, bodoh, pengangguran, dan gagal
dalam hidup ditakdirkan untuk menjadi penghuni neraka. Oleh karena itulah,
orang cenderung bekerja keras meraih prestasi agar dapat hidup sukses di dunia.
Sejalan dengan ajaran ini di Jepang juga terdapat kepercayaan yang
menganjurkan pemeluknya bekerja keras, yakni agama Yokugawa.
Tidak bisa dikesampingkan juga disini
adalah teori motivasi Mc. Gregor yang mengemukakan teori X dan
teori Y sebagai hasil klasifikasi dari dua jenis tipe manusia yaitu tipe
X dan tipe Y (dalam Bowditch and Buono, 1985 : 44).
Menurut teori X pada dasarnya
manusia itu cenderung berperilaku negatif dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Tidak
senang bekerja dan apabila mungkin akan berusaha mengelakkannya
b. Karena
manusia harus dipaksa, diawasi atau diancam dengan berbagai tindakan positif
agar tujuan organisasi tercapai
c. Para
pekerja akan berusaha mengelakkan tanggung jawab dan hanya akan bekerja apabila
menerima perintah untuk melakukan sesuatu
d. Kebanyakan
pekerja akan menempatkan pemuasan kebutuhan fisiologis dan keamanan di atas faktor-faktor
lain yang berkaitan dengannya dan tidak akan menunjukkan keinginan atau ambisi
untuk maju
Sementara itu teori Y menyatakan bahwa
manusia itu pada dasarnya cenderung berperilaku positif dengan ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Para
pekerja memandang kegiatan bekerja sebagai hal yang alamiah seperti halnya
beristirahat dan bermain
b. Para
pekerja akan berusaha melakukan tugas tanpa terlalu diarahkan dan akan berusaha
mengendalikan diri sendiri
c. Pada
umumnya para pekerja akan menerima tanggung jawab yang lebih besar
d. Mereka
akan berusaha menunjukkan kreativitasnya dan oleh karenanya akan berpendapat
bahwa pengambilan keputusan merupakan tanggungjawab mereka juga dan bukan
semata-mata tanggungjawab orang yang menduduki jabatan manajerial (Weber,
1960 dalam Siagian, 1989: 162-163).
Tidak jauh
berbeda dengan Weber, Argyris mengajukan teori motivasi dengan
membedakan manusia dalam kelompok tidak dewasa dan dewasa. Dalam usahanya
menganalisis situasi kedewasaan, argyris mencoba membandingkan dengan nilai-nilai
piramidal dari birokrasi yang masih mendominasi sebagian besar organisasi,
dengan sistem nilai demokrasi yang banyak memperhatikan faktor manusianya. Pada
akhirnya arygris menyatakan ada 7 perubahan yang terjadi pada kepribadian
seseorang yang tidak dewasa menjadi orang yang matang.
Ketujuh
perubahan tersebut adalah:
1. pasif
menjadi aktif
2. tergantung
menjadi tidak tergantung
3. bertindak
sedikit menjadi banyak variasinya
4. minat yang
tidak menentu dan dangkal mejadi lebih dalam dan kuat
5. persfektif
waktu jarak dekat menjadi jarak jauh
6. posisi
yang menjadi dibawah menjadi setingkat atau bahkan diatasnya
7. serta
kekurangan kesadaran atas dirinya menjadi tahu pengendalian diri (Thoha,
1993 : 241-249).
Diantara
banykanya teori motivasi yang dikemukakan tersebut terdapat kecenderungan bahwa
setiap pakar mengembangkan pola motivasi tertentu sebagai hasil dari lingkungan
budaya setempat. Mengenai pola motivasi ini, empat pola yang sangat penting
adalah prestasi, kompetensi, afiliasi dan kekuasaan.
Motivasi
prestasi adalah dorongan dalam diri orang-orang untuk mengatasi segala
tantangan dan hambatan dalam upaya mencapai tujuan. Motivasi kompetensi
adalah dorongan untuk mencapai keunggulan kerja, meningkatkan keterampilan
pemecahan masalah, dan berusaha keras untuk inovatif. Motivasi afiliasi
adalah dorongan untuk berhubungan dengan orang lain atas dasar sosial. Motivasi
kekuasaan adalah dorongan untuk mempengaruhi orang-orang dan mengubah
situsasi. Pengetahuan tentang berbagai pola motivasi akan membantu manajemen
dalam memahami sifat kerja masing-masing pegawai sehingga dapat mengelolanya
sesuai dengan pola motivasi masing-masing yang paling menonol.
Di sisi
lain, Vroom mengajukan pendekatan motivasi yang dapat diterima secara
umum, yakni model harapan (expectancy model) atau dikenal juga sebagai
model harapan. Vroom menjelaskan bahwa motivasi adalah hasil dari tiga
faktor yaitu :
1. Seberapa
besar seseorang menginginkan imbalan (valensi)
2. Perkiraan
orang itu tentang kemungkinan bahwa upaya yang dilakukan akan menimbulkan prestasi
yang berhasil (harapan)
3. Perkiraan
bahwa prestasi itu akan menghasilkan perolehan imbalan atau instrumentalis (David
and Newstrom, 1993 : 90)
Hubungan antara ketiga faktor itu dapat
dijelaskan sebagai berikut: valensi mengacu kepada kekuatan preferensi
seseorang untuk memperoleh imbalan. Ini merupakan ungkapan kadar keinginan
seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Harapan adalah kadar kuatnya keyakinan
bahwa upaya kerja akan menghasilkan penyelesaian suatu tugas. Sedangkan
instrumentalis menunjukkan keyakinan pegawai bahwa ia akan memperoleh suatu
imbalan apabila tugas dapat diselesaikan. Hasil ketiga faktor tersebut adalah
motivasi yakni kekuatan dorongan untuk melakukan suatu tindakan. Kombinasi yang
menimbulkan motivasi adalah valensi positif yang tinggi, tinggi harapan dan
tinggi instrumentalis.
Dengan adanya model harapan ini, maka
para manajer organsiasi akan dipaksa untuk menguji proses timbulnya motivasi
secara seksama. Model ini juga mendorong mereka untuk merancang iklim motivasi yang akan memperbesar kemungkinan
timbulnya perilaku pegawai yang diharapkan (David and Newstrom, 1993 : 95)
Kepemimpinan,
Kekuasaan, dan Partisipasi
Fungsi kepemimpinan dalam suatu
organisasi, tidak dapat dibantah merupakan suatu fungsi yang sangat penting
bagi keberadaan dan kemajuan organisasi yang bersangkutan. Sebagaimana
diungkapkan Wahjosumidjo (1992 : 171), kepemimpinan mempunyai peranan
sentral dalam kehidupan organisasi dimana terjadi interaksi kerjasama antara
dua orang atau lebih dalam mencapai tujuan. Bahakan beberapa pakar
mengasosiasikan kegagalan ataupun keberhasilan suatu organisasi dengan
pimpinannya.
Dengan
kata lain, perilaku pemimpin yang baik bersumber dari personalitas pemimpin itu
sendiri karena dorongan kebutuhan pribadi pemimpin maupun karena tidak adanya
kecocokan antara tujuan organisasi dengan motivasi pemimpin mempunyai hubungan
yang erat dengan berbagai macam tingkat produktivitas dan moral orgnisasi (Trimo,
1984 : vii). Atau mengutip pendapat Jauch dan Glueck (1996 : 384)
pemimpin yang efektif merupakan komponen untuk memungkinkan kebijakan
dijalankan sebagaimana yang telah direncanakan. Oleh karena itu, memahami
teori-teori kepemimpinan sangat besar artinya untuk mengkaji sejauh mana
kepemimpinan dalam suatu organisasi telah dapat dilaksanakan secara efektif
serta menunjang kepada produktivitas oragnisasi secara keseluruhan.
Beberapa
Pengertian
Banyak
pakar-pakar manajemen dan organisasi yang memberikan definisi tentang
kepemimpinan. Namun jika diperhatikan lebih lanjut dari berbagai definisi tadi
dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah suatu kegiatan mencapai tujuan
melalui orang lain (achieving goals through others). Berikut ini
disajikan beberapa pengertian kepemimpinan dikumpulkan oleh As’ad (1986 :
2-3):
1. Kepemimpinan
adalah suatu seni dan proses mempengaruhi sekolompok orang sehingga mereka mau
bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih tujuan kelompok (Koontz and
Donnel, 1982).
2. Kepemimpinan
adalah kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang agar bekerja dengan ikhlas untuk
mencapai tujuan bersama (Terry, 1954).
3. Kepemimpinan
pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan
wewenang dan pengarunya terhadap kelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk
mencapai tujuan (Fiedler, 1967).
4. Kepemimpinan
adalah suatu proses atau tindakan untuk mempengaruhi aktivitas suatu kelompok
organisasi dalam usahanya mencapai tujuan yang telah ditentukan (Stogdil,
1977).
5. Kepemimpinan
adalah kemampuan memperoleh kensensus dan keikatan pada sasaran bersama
melampaui syarat-syarat organisasi yang dicapai dengan pengalaman, sumbangan
dan kepuasan dipihak kelompok kerja (Cribbin, 1991).
6. Kepemimpinan
adalah kemampuan untuk mengajak orang lain untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan
dengan penuh semangat (Davis, 1977).
7. Kepemimpinan
mengandung arti mempengaruhi orang untuk lebih berusaha mengerahkan tenaga
dalam tugasnya atau merubah tingkah laku mereka (Wexley and Yulk, 1977).
Kepemimpinan (leadership) harus
dibedakan dengan kekepalaan (headship). Headship diartikan sebagai
pemimpin karena status dalam struktur organisasi sementara leadership tidak
selalu mensyaratkan adanya posisi struktural tertentu.
Dengan demikian sumber kekuasaan dari
kepemimpinan dan kekepalaan juga berbeda. Kekuasaan sering memimpin sumbernya
mungkin datang dari kemampuannya untuk mempengaruhi orang lain karena sifat dan
sikapnya, luas pengetahuan dan pengalamannya, pandai berkomunikasi, memiliki
kesaktian dan kewibawaan, atau karena pandai bergaul dan berkomunikasi.
Sedangkan kekuasaan seorang kepala berasal dari kedudukannya yang didasarkan
atas otoritas yang dimiliki secara formal. Oleh karena itu seorang pejabat
struktural belum tentu dapat jadi pemimpin dan seorang pemimpin juga belum
tentu memiliki kedudukan sebagai kepala.
Teori Gaya dan Tipe Pemimpin
Dilihat dari orientasi si pemimpin,
ada dua gaya kepemimpinan yang diterapkan yaitu gaya konsideran dan struktur
atau dikenal juga sebagai orientasi pegawai dan orientasi tugas. Beberapa hasil
penelitian para ahli menunjukkan bahwa prestasi dan kekuasaan kerja pegawai
dapat ditingkatkan apabila konsiderasi merupakan gaya kepemimpinan yang
dominan. Sebaliknya para pemimpin yang berorientasi tugas yang terstruktur
percaya bahwa mereka memperoleh hasil dengan tetap membuat orang-orang sibuk
dan mendesak mereka untuk berproduksi.
Pemimpin yang positif, partisipatif
dan berorientasi, konsiderasi, tidak selamanya merupakan pemimpin yang terbaik.
Fielder telah mengembangkan suatu model pengecualian dari ketiga gaya
kepemimpinan di atas yakni model kepempinan kontigensi. Model ini menyatakan
bahwa gaya kepemimpinan yang paling sesuai bergantung pada situasi dimana
pemimpin bekerja. Dengan teorinya ini Fielder ingin menunjukkan bahwa
keefektifan pemimpin ditentukan oleh interaksi antara orientasi dengan ketiga
variabel yang berkaitan dengan pengikut, tugas dan organisasi. Ketiga variabel
itu adalah hubungan antara pemimpin dengan anggota (leader – member
relations), struktur tugas (task structure) dan kuasa posisi
pemimpin (leader position power). Variabel pertama ditentukan oleh
pengakuan atau penerimaan (akseptabilitas) pemimpin oleh pengikut,
variabel kedua mencerminkan kadar diperlukannya cara spesifik untuk melakukan
pekerjaan dan variabel ketiga menggambarkan kuasa organisasi yang melekat pada
posisi pemimpin.
Model kontigensi Fielder ini
serupa sekali dengan gaya kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard.
Konsepsi kepemimpinan situasional ini melengkapi pemimpin dengan pemahaman dari
hubungan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kematangan (maturity)
pengikutnya. Perilaku pengikut atau bawahan ini sangat penting untuk mengetahui
kepemimpinan situasional karena bukan saja pengikut sebagai individu bisa
menerima atau menolak pemimpiannya akan tetapi sebagai kelompok, pengikut dapat
menentukan kekuatan pribadi apapun yang dimiliki pemimpin.
Menurut Hersey dan Blanchard
(dalam Ludlow dan Panton, 1996 : 18 dst), masing-masing gaya kepemimpinan
ini hanya mamadai dalam situasi yang tepat meskipun disadari bahwa setiap orang
memiliki gaya yang disukainya sendiri dan sering merasa sulit untuk mengubahnya
meskipun perlu.
Directing adalah
gaya yang tepat apabila anda dihadapkan dengan tugas yang rumit dan staf anda
belum memiliki pengalaman dan motivasi untuk mengerjakan tugas tersebut atau
apabila anda berada tekanan waktu penyelesaian. Anda menjelaskan apa yang perlu
dan apa yang harus dikerjakan. Dalam situasi demikian, biasanya terjadi over-communicating
(penjelasan berlebihan yang dapat menimbulkan kebingunan dan pembuangan waktu).
Coaching adalah gaya yang tepat apabila staf anda telah lebih
termotivasi dan berpengalaman dalam menghadapi suatu tugas. Disini anda perlu
memberikan kesempatan kepada mereka
untuk mengerti tentang tugasnya dengan meluangkan waktu membangun
hubungan dan komunikasi yang baik dengan mereka.
Selanjutnya gaya kepemimpinan yang supporting
akan berhasil apabila karyawan telah mengenal teknik-teknik yang dituntut dan
telah mengembangkan hubungan yang lebih dekat dengan anda. Dalam hal ini, anda
perlu meluangkan waktu untuk berbincang, untuk melibatkan mereka dalam
pengambilan keputusan kerja serta mendengarkan saran-saran mereka mengenai
peningkatan kinerja. Adapun gaya delegating akan berjalan baik apabila
staf anda sepenuhnya telah paham dan efisien dalam pekerjaan sehingga anda
dapat melepas mereka menjalankan tugas atau pekerjaan itu atas kemampuan dan
inisiatifnya sendiri.
Ditengah-tengah dinamika organisasi
(yang antara lain diindikasikan oleh adanya perilaku staf / individu yang
berbeda-beda) maka untuk mencapai efektivitas organisasi – penerapan keempat
gaya kepemimpinan di atas perlu disesuaikan dengan tuntutan keadaan. Itulah
yang dimaksud dengan situational leadership sebagaimana telah disinggung
di atas. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk dapat mengembangkan gaya
kepemimpinan situational ini.
Kekuasaan : Sumber-Sumber dan Bentuknya
Konsep kekuasaan memilki keterkaitan
yang sangat erat dengan konsep kepemimpinan. Artinya, dalam implementasi fungsi
kepemimpinan biasanya selalu melekat adanya kekuasaan.
Dengan kata lain, kekuasaan bagi
seorang pimpinan merupakan alat untuk mempengaruhi perilaku, sikap atau
pemikiran (partisipasi) para pengikutnya.
Dalam bentuk gambar, keterkaitan
antara kepemimpinan, kekuasaan dan partisipasi dapat dilihat pada gambar di
bawah ini. Khususnya yang menyangkut pembahasan mengenai kekuasaan sendiri,
jelas tidak dapat dipisahkan dari masalah dan sumber kekuasaan. Dalam hal ini, Thoha
(1995 : 289-295) menjelaskan bahwa sumber dan bentuk kekuasaan kalau
ditelusuri sejarahnya dapat dikembalikan pada pada pernyataan Machiavelli
yang pertama kali dikemukakan pada abad ke-16.
Machiavelli menyatakan bahwa hubungan yang baik itu tercipta jika
didasarkan atas cinta (kekuasaan pribadi) dan ketakutan (kekuasaan
jabatan).
Itulah sebabnya maka Amitai Etziomi
membahas bahwa sumber dan bentuk kekuasaan itu ada dua yakni kekuasaan jabatan
(position power) dan kekuasaan pribadi (personal power). Dan dari
berbagai teori mengenai kekuasaan paling tidak dapat dirumuskan adanya 6 bentuk
kekuasaan yaitu:
a. Kekuasaan
paksaan
Kekuasaan
paksaan (coercive power). Kekuasaan ini berdasarkan atas rasa takut.
Dengan demikian sumber kekuasaan diperoleh dari rasa takut. Pemimpin yang
mempunyai kekuasaan jelas ini mempunyai kemampuan untuk mengenakan hukuman,
dampratan atau pemecatan.
b. Kekuasaan legitimasi
Kekuasaan
legitimasi (legitimate power). Kekuasaan ini bersumber pada jabatan yang
dipegang oleh pemimpin. Secara normal semakin tinggi jposisi seorang pemimpin
maka semakin besar kekuasaan legitimasinya. Seorang pemimpin yang tinggi
kekuasaan legitimasinya mempunyai kecenderungan untuk mempengaruhi orang lain
Karena pemimpin tersebut merasakan bahwa ia mempunyai hak dan wewenang yang
diperoleh dari jabatan dalam organisasinya. Sehingga dengan demikian diharapkan
saran-sarannya akan banyak diikuti oleh orang lain tersebut.
c. Kekuasaan
keahlian
Kekuasaan
keahlian (ekpert power). Kekuasaan ini bersumber dari keahlian kacakapan
atau pengetahuan yang dimiliki oleh seorang pemimpin yang diwujudkan lewat rasa
hormat dan pengaruhnya terhadap orang lain. Seorang pemimpin yang tinggi
kekuasaannya keahliannya, kelihatannya mempunyai keahlian untuk memberikan
fasilitas terhadap perilaku kerja orang lain.
d. kekuasaan
penghargaan
kekuasaan
penghargaan (reward power). Kekuasaan ini bersumber atas kemampuan untuk
menyediakan penghargaan atau hadiah bagi orang lain seperti misalnya gaji,
promosi, atau penghargaan jasa.
e. kekuasaan
referensi
kekuasaan
referensi (referent power). Kekuasaan ini bersumber pada sifat-sifat
pribadi dari seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang tinggi kekuasaan
referensinya ini pada umumnya disenangi dan dikagumi oleh orang lain karena
kepribadiannya.
f.
kekuasaan informasi
Adapun
kekuasaan informasi (information power) adalah kekuasaan yang bersumber
karena adanya akses informasi yang dimiliki oleh pemimpin yang dinilai sangat
berharga oleh pengikutnya. Sebagai seorang pemimpin, semua informasi mengenai
organisasinya ada padanya termasuk informasi yang datang dari luar organisasi.
Dengan demikian pimpinan merupakan sumber informasi.
Partisipasi
Partisipasi dapat diartikan sebagai
suatu gerakan atau kekuatan kelompok atau anggota kelompok (community /
group power) yang bertujuan untuk ikut berperan atau berpengaruh dalam
proses pengambilan keputusan. Dengan mengutip pendapat dari Midgley, Mathur,
serta Oakley and Marsden, Jahja Hanafie (1996 : 130) mengemukakan bahwa
issu utama dalam partisipasi kelompok adalah penekanannya pada distribusi
kekuatan (power distribution), persamaan (equality), keterlibatan
(involvement), pembuatan kebijakan (policy making) dan
pengambilan keputusan (decision making).
Adapun pentingnya partisipasi ini
antara lain dikemukakan oleh Bep Fritschi (et.al, 1993 : 214-215), yang
berpendapat bahwa terdapat dua alasan pokok untuk mengembankan partisipasi kelompok.
Pertama, alasan-alasan yang mengacu pada kelompok sendiri yakni bahwa kelompok
berhak untuk ikut terlibat dalam keputusan-keputusan yang menyangkut hari depan
mereka. Kedua, alasan yang berkaitan dengan efektivitas dan efesiensi, dalam
pengertian jika kelompok benar-benar diberikan kesempatan untuk terlibat secara
aktif dalam proses organisasional maka organisasi akan berlangsung lebih
efektif dan efisien.
Sebagai ilustrasi mengenai
partisipasi, Bank Dunia (1992 : 93) pernah menyatakan bahwa “ banyak
masalah lingkungan tidak dapat diatasi tanpa partisipasi aktif dari penduduk
setempat”. Tentu saja apa yang dikemukakan oleh Bank Dunia tersebut
tidak semata-mata meliputi aspek lingkungan tetapi juga bidang-bidang lain
dalam pembangunan suatu Negara dan masyarakat serta kehidupan dalam suatu
organisasi besar maupun kecil.
Keputusan Dalam Pengambilan Keputusan
Keputusan dapat diartikan sebagai
suatu pengakhiran atau pemutusan dari suatu proses pemikiran untuk menjawab
suatu pernyataan khususnya mengenai suatu masalah atau problema. Sedangkan
pengambilan keputusan adalah proses pendekatan yang sistematis terhadap suatu
masalah mulai dari identifikasi dan perumusan masalah, pengumpulan dan
penganalisaan data dan informasi, pengembangan dan pemilihan alternatif serta
pelaksanaan tindakan yang tujuannya untuk memperbaiki keadaan yang belum
memuaskan. Dari pengertian tersebut nampak bahwa pengambilan keputusan bukanlah
merupakan kegiatan yang sepele atau mudah. Artinya, suatu keputusan mestilah
lahir dari suatu proses panjang yang rumit dimana didalamnya terjadi diskusi-diskusi
intensif, saling bertukar pikiran dan brain storming yang mendalam
dengan analisis-analisis yang tajam dan interdisipliner.
Adapun mengenai proses pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama kali, proses pengambilan
keputusan dipicu oleh adanya masalah yang dihadapi dan perlu segera dipecahkan
oleh suatu organisasi. Dari adanya masalah ini, langkah yang harus ditempuh
adalah menetapkan secara tepat apa sesungguhnya masalah yang dihadapi. Untuk
itu perlu dilakukan pengenalan, identifikasi, diagnosis, dan analisis terhadap
masalah yang ada yakni dengan cara menguraikan unsure-unsur masalah yang
dihadapi, kemudian dikelompokkan kembali menurut corak dan sifatnya masing-masing,
serta memperkirakan faktor-fakor kunci penyebab masalah tersebut.
Untuk mendukung hal ini perlu
dilakukan pengumpulan data pendahuluan yang berkaitan dengan masalah yang
dihadapi. Adalah suatu kegagalan besar jika SDM suatu organisasi salah dalam
mengenali, mengidentifikasi serta mendiagnosis sesuatu yang diduga merupakan
masalah padahal masalah sesungguhnya belum atau tidak tersentuh sama sekali.
Setelah dilakukan identifikasi dan diagnosis
masalah, maka tahap selanjutnya adalah pengembangan alternatif. Tahapan ini
merupakan kegiatan analisa dalam rangka menggali dan menemukan berbagai macam
pilihan atau alternatif, sehingga membutuhkan daya cipta yang besar disamping
pengetahuan yang luas dan mendalam tentang yang akan dipecahkan.
Pada tahap berikutnya, terhadap berbagai alternatif
tadi diadakan evaluasi atau penilaian. Dalam hal ini, evaluasi dilakukan atas
dasar ramalan (forecasting) mengenai konsekuensi setiap alternatif yang
diperkirakan yang akan timbul. Dalam meramalkan setiap alternatif biasanya
digunakan pola berfikir sebab akibat misalnya: jika alternatif 1 yang dipilih
akan menimbulkan konsekuensi A, B dan seterusnya. Dengan kata lain perlu
diadakan pembandingan antar alternatif, sebelum sampai kepada pemilihan salah
satu alternatif yang dianggap terbaik serta mengandung cost yang jauh
lebih rendah dibanding benefit yang akan dihasilkan.
Adapun pase atau tahap terakhir dari
proses pengambilan keputusan adalah implementasi keputusan, yaitu pelaksanaan
dari alternatif yang dipilih serta pemantauan pelaksanaan sebagai dasar tindak
lanjut bagi organisasi yang bersangkutan.
Corak dan Jenis Masalah
Sebagaimana diketahui corak atau jenis
masalah yang dihadapi oleh suatu organisasi biasanya dapat dikelompokkan
kedalam dua golongan yaitu masalah yang sederhana (simple problem) dan
masalah yang rumit (complex problem). Corak atau jenis masalah yang
berbeda akan menyebabkan cara pengambilan keputusan yang berbeda pula. Adapun
pengertian masalah sederhana adalah masalah yang mempunyai ciri-ciri antara
lain berskala kecil, berdiri sendiri dalam arti kurang memiliki sangkut paut
dengan masalah yang lain, tidak mengandung konsekuensi yang besar, serta
pemecahannya tidak memerlukan pemikir yang luas dan mendalam.
Terhadap masalah yang sederhana
seperti ini maka pengambilan keputusan dalam rangka pemecahan masalah dilakukan
secara individual oleh setiap pimpinan. Teknik yang biasa digunakan untuk
memecahkan masalah yang sederhana ini pada umumnya dilakukan atas dasar
intuisi, pengalaman, kebiasaan dan wewenang yang melekat pada jabatannya.
Sementara itu, masalah rumit adalah
masalah yang mempunyai ciri-ciri antara lain berskala besar, tidak berdiri
sendiri melainkan memilki kaitan erat dengan masalah-masalah lain, mengandung
konsekuensi yang besar serta pemecahannya memerlukan pemikiran yang tajam dan
analitis. Oleh karenanya, pengambilan keputusan atas masalah kompleks ini
dilakukan secara kelompok yang melibatkan pimpinan dan segenap staf
pembantunya. Masalah rumit ini sendiri dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu
masalah yang terstruktur (structured problems) dan masalah yang tidak
terstruktur (unstructured problems).
structured problems adalah masalah yang jelas faktor-faktor
penyebabnya, bersifat rutin dan biasanya timbul berulang kali sehingga
pemecahannya dapat dilakukan dengan teknik pengambilan keputusan yang bersifat
rutin, repetitif dan dibakukan. Sebagai contoh masalah terstruktur ini misalnya
adalah masalah penggajian, kepangkatan dan pembinaan pegawai, masalah perijinan
dan sebagainya. Oleh karena sifatnya yang rutin dan baku maka pengambilan
keputusan menjadi relatif mudah atau cepat, dimana salah satu caranya adalah
dengan penyusunan metode / prosedur / program tetap atau pembakuan-pembakuan
lainnya.
Berbeda dengan masalah yang terstruktur, maka
pada masalah yang tidak terstruktur proses pengambilan keputusan menjadi lebih
sulit dan lebih lama. Sebab masalah yang tidak terstruktur ini merupakan
penyimpangan dari organisasi yang bersifat umum, tidak rutin, tidak jelas faktor
penyebab dan konsekuensinya, serta tidak repititif kasusnya. Oleh karenanya
diperlukan teknik pengambilan keputusan yang bersifat non-programmed
decision-making.
Hal ini mensyaraktkan bahwa sebelum
ditetapkannya waktu keputusan perlu disediakan berbagai bahan tambahan atau
informasi, baik yang tertuang dalam peraturan perundangan maupun dalam berbagai
sumber yang tersebar. Selanjutnya terhadap bahan-bahan dilakukan analisis,
penguraian dan pertimbangan-pertimbangan khusus. Dalam kaitan ini peranan diskusi
sangatlah besar, sebab keputusan yang diambil semata-mata didasarkan kepada
pengalaman, terlebih lagi adalah faktor-faktor spesifik yang membentuk masalah
tersebut.
Komunikasi, Pengertian dan Prosesnya
Secara luas komunikasi adalah setiap
bentuk tingkah laku seseorang baik verbal maupun nonverbal yang
ditanggapi oleh orang lain. Komunikasi mencakup pengertian yang lebih luas dari
sekedar wawancara. Setiap bentuk tingkah laku mengungkapkan pesan tertentu
sehingga juga merupakan sebentuk komunikasi (Johnson, dalam Supratiknya,
1995 : 30).
Sementara secara sempit komunikasi
diartikan sebagai pesan yang dikirimkan seseorang kepada satu atau lebih
penerima dengan maksud sadar untuk mempengaruhi tingkah laku si penerima. Dalam
setiap bentuk komunikasi setidaknya dua orang saling mengirimkan
lambang-lambang yang memilki makna tertentu. Lambang-lambang tersebut bisa
bersifat verbal berupa kata-kata atau bersifat nonverbal berupa ekspresi atau
ungkapan tertentu dengan gerak tubuh.
Dari beberapa definisi atau pengertian
tentang komunikasi, menurut Robby Chandra (1992 : 46-47) dapat dibagi
kedalam empat kelompok yaitu:
a. Definisi
berdasarkan perspektif yang bersifat behavioristik. Prespektif ini
datang dari cabang psikologis behavioristik yang menekankan hubungan antara
stimulus / rangsangan dan respons dari penerima stimulus. Dengan demikian teori
yang menggunakan perspektif ini akan menekankan komunikasi sebagai pengaruh
perasaan sebagai stimulus terhadap seseorang.
b. Definisi
berdasarkan transmisi. Menurut teori ini komunikasi adalah transfer
informasi dari pengirim berita kepada penerima. Di dalam definisi yang bersifat
transmisional tekanan yang diletakkan pada peranan media, waktu dan sekuens
dari berita.
c. Definisi
berdasarkan prespektif yang menekankan interaksi. Perspektif ini
menyadari bahwa komunikator dan penerima saling berespons. Kata kunci di dalam
defenisi yang memperhatikan interaksi ialah umpan balik (feed-back) dan
efek timbal balik.
d. Definisi yang menekankan transaksi.
Perspektif defenisi serupa ini komunikasi dilihat sebagai pengalaman dimana
pesertanya ambil bagian dengan aktif. Karena tekanan perhatiannya diletakkan
atas pemahaman tentang konteks, proses, dan fungsi komunikasi yang terjadi.
Komunikasi yang terjadi antara seseorang
dengan orang lain, berlangsung pada taraf kedalaman yang berbeda-beda. Dan atas
dasar kedalamannya ini, John Powell (dalam supraktiknya, 1995:32-34)
membedakan komunikasi dalam lima taraf. Taraf ke lima adalah basa-basi.
Ini merupakan taraf komunikasi paling dangkal. Biasanya terjadi pada dua orang
yang bertemu secara kebetulan. Taraf keempat yakni, membicarakan orang lain.
Disini orang sudah mulai menanggapi, namun tetap masih dalam taraf dangkal,
khususnya sebelum mau berbicara tentang diri masing-masing.
Taraf ketiga adalah menyatakan gagasan dan pendapat. Kita sudah mau
saling membuka diri, saling mengungkapkan diri, namun pengungkapan diri
tersebut masih terbatas pada taraf pikiran. Taraf kedua adalah taraf hati
dan perasaan. Ada yang mengatakan bahwa emosi atau perasaan adalah unsur
yang membedakan orang yang satu dari yang lain. Sama-sama menghias rumah dan
menaikkan bendera dalam rangka tujuh belas agustus-an, namun seorang veteran
pejuang yang kini hidupnya sukses , veteran pejuang yang nasibnya kurang
beruntung, miskin dan terlupakan, warga masyarakat biasa yang tidak mengalami
sendiri masa perang, dan seorang mahasiswa yang aktif memperjuangkan keadilan,
tentu melakukannya dengan perasaan yang berbeda-beda.
Taraf pertama adalah hubungan
puncak. Komunikasi pada taraf ini ditandai dengan kejujuran, keterbukaan
dan saling percaya yang mutlak diantara kedua belah pihak. Tidak ada lagi
ganjalan-ganjalan berupa rasa takut, rasa khawatir jangan-jangan kepercayaan
kita disia-siakan. Selain merasa bebas untuk saling mengungkapkan perasaan yang
sama tentang banyak hal. Dengan kata lain komunikasi tersebut telah berkembang
begitu mendalam sehingga kedua belah pihak merasakan timbal balik yang hampir
sempurna.
Dalam pelaksanaan suatu komunikasi
atau untuk dapat tersampaikannya suatu pesan dari seseorang (pengirim)
kepada orang lain (penerima), perlu adanya proses yakni proses
komunikasi.
Komunikasi Salah Satu Arah dan Dua Arah
Dilihat dari umpan balik atau respon
parah pihak dalam berkomunikasi maka terdapat dua bentuk komunikasi yakni komunikasi
satu arah dan komunikasi dua arah. Komunikasi satu arah yakni
situasi komunikasi di mana pengirim tidak memilki kesempatan untuk mengetahui
bagaimana penerima telah mendekodefikasikan pesannya.
Sebaliknya, komunikasi dua arah
berlangsung apabila pengirim cukup leluasa mendapatkan umpan balik tentang cara
penerimaan menangkap pesan yang telah dikirimnya. Komunikasi dua arah yang
terbuka semacam ini akan mempermudahkan terjadinya saling pemahaman dalam
komunikasi dan sangat menolong mengembangkan suatu relasi yang memuaskan bagi
kedua belah pihak serta kerja sama yang efektif (Johnson dalam Supraktiknya,
1995 : 38-39).
Pentingnya Komunikasi
Komunikasi antarpribadi sangat penting
bagi kebahagiaan hidup kita. Johnson (1981) sebagaimana dikutip Supraktiknya
(1995 : 9-10) menunjukkan beberapa peranan yang disumbangkan oleh
komunikasi antarpribadi dalam rangka menciptakan kehidupan hidup manusia.
Pertama, komunikasi antarpribadi
membantu perkembangan intelektual dan sosial kita. Perkembangan kita sejak masa
bayi sampai masa dewasa mengikuti pola semakin meluasnya ketergantungan kita
pada orang lain. Diawali dengan ketergantungan atau komunikasi yang intensif
dengan ibu pada masa bayi, lingkaran ketergantungan atau komunikasi itu semakin
luas dengan bertambahnya usia kita. Bersama proses itu perkembangan intelektual
dan sosial kita sangat ditentukan oleh kualitas komunikasi kita dengan orang
lain itu.
Kedua, identitas atau jati diri kita
terbentuk dalam dan lewat komunikasi dengan orang lain. Selama berkomunikasi
dengan orang lain, secara sadar maupun tidak sadar kita mengamati,
memperhatikan dan mencatat dalm hati semua tanggapan yang diberikan oleh orang
lain terhadap diri kita. Kita menjadi tahu begaimana pandangan orang lain terhadap
diri kita. Berkat pertolongan komunikasi dengan orang lain kita dapat menemukan
diri, yaitu mengetahui siapa diri kita sebenarnya.
Ketiga, dalam rangka memahami realitas
di sekeliling kita serta menguji kebenaran kesan-kesan dan pengertian yang kita
miliki tentang dunia di sekitar kita, kita perlu membandingkannya dengan
kesan-kesan dan pengertian orang lain tentang realitas yang sama. Tentu saja
perbandingan sosial (social comparison) semacam ini hanya dapat kita
lakukan lewat komunikasi dengan orang lain.
Keempat, kesehatan mental kita
sebagian besar juga ditentukan oleh kualitas komunikasi atau hubungan kita
dengan orang lain, lebih-lebih orang yang merupakan tokoh-tokoh signifikan (significant
figures) dalam hidup kita. Bila hubungan kita dengan orang lain diliputi
masalah maka tentu kita akan menderita merasa sedih, cemas dan frustasi. Bila
kemudian kita menarik diri dan menghindari orang lain maka rasa sepi dan
terasing yang mungkin kita alami pun tentu akan menimbulkan penderitaan, bukan
hanya penderitaan emosional dan batin bahkan mungkin juga penderitaan fisik.
Apabila dalam proses tersebut terjadi
suatu komunikasi yang tidak lancar dan tidak efektif akan terjadi apa yang
disebut kegagalan komunikasi (communication failure). Atau dengan kata
lain kegagalan dalam komunikasi timbul karena adanya kesenjangan antara apa
yang sebenarnya dimaksud pengirim dengan apa yang oleh penerima diduga dimaksud
oleh pengirim.
Tiga Gaya Tanggapan Dalam Organsasi
Mengenai gaya seseorang (komunikan)
memberikan tanggapan kepada komunikator – dilihat dari hak untuk mempertahankan
kepentingan dan harga dirinya terdapat tiga gaya tanggapan yaitu non asersi,
asersi dan agresi.
Asersi adalah
tindakan untuk mempertahankan hak asasi sendiri yang mendasar tanpa melanggar
hak asasi orang lain (Jakubowsi-Spector, 1973). Dengan kata lain
tanggapan yang mengakui batas-batas antara hak individu seseorang dengan hak
orang lain dan senantiasa menjaga batas-batas itu. Oleh karena itu, dalam
tanggapan asertif ini terkandung suatu pengakuan bahwa hak orang lain untuk
berbuat salah namun tiap-tiap orang berhak memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa
mengabaikan menolong orang lain.
Ketika salah seorang teman Inem pinjam
mobil sport barunya untuk tamasya, Inem menanggapi secara “Asertif”
dengan mengatakan “saya memahami kebutuhanmu akan transportasi, tetapi mobil
ini terlalu berarti bagi saya untuk saya pinjamkan”. Inem berhasil memahami
hak temannya untuk meminjam tetapi juga berhasil mempertahankan haknya sendiri
untuk menolak.
Kemudian gaya tanggapan non asersi
menggambarkan ketidakmampuan untuk mempertahankan batas antara hak seseorang
dengan hak orang lain secara memuaskan. Gaya tanggapan ini terjadi bilamana
seseorang membiarkan batas-batas haknya dipersempit. Dalam kasus Inem,
tanggapan yang bersifat “Non asertif” tentunya akan meminjamkan
kendaraanya karena takut temannya akan menganggap dirinya picik atau kurang
percaya, oleh karena itu ia menyesal mengapa ia tidak menolak. Jadi dalam hal
ini Inem tidak memilih untuk mengatakan tidak.
Adapun gaya tanggpan agresif
terjadi jika seseorang memasuki batas-batas hak individu orang lain. Dalam
kasus Inem ungkapan agresi dapat berbunyi seperti ini “tentu saja tidak!” atau
“kau bercanda!”. Dalam hal ini Inem melanggar hak seseorang untuk
memperoleh penghormatan dan penghargaan.
Pengungkapan Diri dan Jendela Rohani
Salah satu upaya untuk menciptakan
proses komunikasi yang efektif adalah dengan keberanian untuk mengungkapkan
diri secara terbuka dan obyektif. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ludlow dan
Panton (1996 : 9), bahwa dalam menafsirkan informasi kita lebih melihat
atau mendengan apa yang kita inginkan daripada menghadapi fakta-fakta obyektif.
Oleh karena itu, penghalang terbesar obyektifitas adalah konsep diri (self
concept) yakni apa yang “kita ketahui” dalam hubungan kita dengan
dunia dan orang lain dan kita cenderung menolak informasi yang tampaknya
mengancam konsep diri tersebut. Dengan kata lain, obyektifitas dalam komunikasi
akan terganggu manakala terjadi “pembiasaan persepsi” antar pribadi.
Dalam hubungan ini maka Jendela
Johari bermanfaat untuk mengurangi adanya pembiasaan persepsi tersebut.
Dari gambar di bawah ini dapat disimak bahwa ketika kita sedang bersama dan
atau berkomunikasi dengan orang lain terdapat beberapa unsur dari diri, sikap,
perilaku dan kepribadian kita yang kita sadari dan juga tampak nyata bagi orang
lain (bidang TERBUKA). Disisi lain orang mungkin mengamati segi-segi
kehidupan kita yang tidak kita sadari misalnya “nafasnya bau jengkol” (bidang
TAK DISADARI).
Disamping itu, kita sering cenderung
menjaga beberpa bagian dari diri, sikap dan perasaan serta hal-hal pribadi kita
dan tidak membukanya kepada oraang lain (bidang TERTUTUP). Sementara
seringkali kita sadari juga bahwa ada beberapa aspek kehidupan yang tidak kita
ketahui serta tidak tampak pula bagi orang lain, akan tetapi sangat
mempengaruhi perilaku kita misalnya kemarahan yang muncul tanpa sebab (bidang
TAK DIKETAHUI).
Pada saat seseorang bertemu dan
berkomunikasi untuk pertama kalinya dengan orang lain, terdapat kecenderungan
untuk tidak terlalu membuka diri sehingga bidang terbuka menjadi kecil.
Akibatnya, komunikasi menjadi kurang efektif dan diperlukan langkah-langkah
untuk memperluas bidang terbuka ini, sekaligus mempersempit bidang tak disadari
dan bidang tertutup. Hal ini dapat dicapai melalui dua rangkaian aktivitas yang
dilakukan dengan penuh kesadaran yakni pengungkapan diri dan umpan balik.
Pengungkapan diri adalah pemberian
informasi diri kita secara Cuma-Cuma kepada orang lain dan bermanfaat untuk
memperkecil bidang tak disadari. Sementara umpan balik adalah tanggapan dari
orang lain yang bermanfaat untuk memperkecil bidang tak disadari.
Pengertian dan Sifat Konflik
Menurut Joyce Hocker dan William
Wilmot di dalam bukunya Interpersonal Conflict (dalam Robby Chandra,
1992 : 15-16) ada berbagai pandangan tentang konflik yang umumnya tersebar
secara merata di dalam berbagai budaya di seluruh dunia:
a. Konflik
adalah hal yang abnormal karena hal yang normal ialah keselarasan. Mereka yang
menganut pandangan ini pada dasarnya bermaksud menyampaikan bahwa suatu konflik
hanyalah merupakan gangguan stabilitas. Karena konflik dilihat sebagai suatu
tanggapan maka harus diselesaikan secepat-cepatnya, apapun penyebabnya.
b. Konflik
sebenarnya hanyalah suatu perbedaan atau salah paham. Kata-kata serupa itu
seringkali disampaikan oleh orang yang terlibat dalam suatu konflik. Dengan
kata lain, konflik tidak dinilai sebagai suatu hal yang terlalu serius. Bahkan,
menurut penganut pendapat ini penyebab konflik hanyalah kegagalan berkomunikasi
dengan baik, sehingga pihak lain tidak dapat memahami maksud kita sesungguhnya.
c. Konflik
adalah gangguan yang hanya terjadi karena kelakuan orang-orang yang tidak
beres. Pendapat ini sering pula diungkapkan dengan cara lain. Orang-orang yang
senang terlibat konflik adalah anti-sosial, paranoia, ngawur, atau senang
berkelahi. Menurut penganut pendapat ini penyebab suatu konflik adalah
ketidakberesan kejiwaan orang tertentu.
Mengenai faktor penyebab konflik
menurut Watkins (dalam Robby Chandra, 1992 : 15-16) konflik terjadi bila
terdapat dua hal. Pertama, konflik bisa terjadi bila sekurang-kurangnya
terdapat dua pihak yang secara potensial dan praktis / operasional dapat saling
menghambat. Secara potensial artinya mereka memilki kemampuan untuk menghambat.
Secara praktis / operasional artinya kemampuan untuk tadi bisa diwujudkan dan
ada di dalam keadaan yang memungkinkan perwujudannya secara mudah. Artinya bila
kedua pihak tidak dapat menghambat atau tidak melihat pihak lain sebagai
hambatan maka konflik tidak akan terjadi.
Kedua, konflik dapat terjadi bila ada
suatu sasaran yang sama-sama dikejar oleh kedua pihak kedua namun hanya salah
satu pihak yang mungkin akan mencapainya.
Selanjutnya dilihat dari sifatnya,
konflik dapat dikelompokkan menjadi konflik negatif dan konflik positif.
Konflik yang negatif ialah konflik dimana pihak-pihak yang terlibat merasa rugi
karena konflik itu. Hal ini bisa terjadi walaupun pihak luar melihat pihak yang
merasa kalah itu sudah unggul. Jadi faktor persepsi dan perasaan kalah memegang
perasaan penting. Konflik negatif dan merusak ini muncul dalam bentuk yang
dikenal sebagai spiral konflik. Spiral konflik ini hanya memilki satu arah
yaitu meningkat dan maju. Ciri-cirinya, hubungan negatif itu hampir otomatis
menghasilkan hubungan negatif lainnya. Dalam spiral ini salah satu pihak akan
berusaha untuk mengubah struktur hubungan dan membatasi pilihan pihak lain
untuk mencari keuntungan sepihak.
Salah satu bentuk konflik negatif
ialah suatu konflik yang tidak terselesaikan. Hal ini bisa terjadi dengan salah
satu pihak menarik diri. Ini dilakukan dengan pengetahuan bahwa pihak lainnya
akan dirugikan oleh keputusan itu.
Lawan dari konflik negatif adalah
konflik positif. Konflik positif berguna untuk suatu masyarakat atau kelompok
yang memungkinkan ekspresi konflik yang terbuka dan memungkinkan pergeseran
keseimbangan kekuasaan. Konflik akan memberikan transisi untuk suatu hubungan
baru yang terus direvisi.
Ciri-ciri dari konflik yang positif
ialah adanya transformasi dari elemen-elemen konflik yaitu, cara konflik itu
diekspresikan, persepsi tentang kebutuhan dan tujuan, persepsi tentang
kemungkinan pemenuhannya, tingkat persepsi bahwa kedua belah pihak sebenarnya
saling terkait, serta jenis kerjasama dan oposisi. Dengan kata lain kedua pihak
akan merasa diperkaya di dalam hubungan mereka. Mereka akan lebih bersedia
bekerja sama dan bersedia untuk mengatasi konflik dengan lebih terbuka di masa
depan.
Dalam hubungan ini, Coser (dalam
Robby Chandra, 1992 : 54) berpendapat bahwa konflik dapat menyatukan sebuah
kelompok lebih erat dan memadukannya dengan baik. Hal ini disebabkan karena
konflik itu memberikan klep pengaman, menolong kelompok untuk lebih efektif
dengan adanya keterbukaan dalam menilai struktur yang ada dan memungkinkan
adanya perumusan yang tajam tentang sasaran / tujuan dan kebutuhan kelompok.
Konflik yang produktif dan positif akan membuat semua pihak merasa bahwa
sesuatu telah dicapai bersama.
Dengan kata lain konflik dalam
hubungan antar pribadi sesungguhnya memilki potensi menunjang perkembangan
pribadi kita sendiri maupun perkembangan relasi kita dengan orang lain asal
kita mampu menghadapi dan memecahkan konflik-konflik semacam itu secara
konstruktif.
Anatomi / Unsur Konflik
Di manapun terjadinya semua konflik
memilki kesamaan-kesamaan. Baik yang terjadi dikeluarga, sekolah, lingkungan
agama, atau lingkungan bisnis, indikator adanya kehadiran konflik adalah
terdapatnya anatomi atau unsur-unsur di bawah ini (dalam Robby Chandra, 1992
: 54).
1. Adanya
ketegangan yang diekspresikan baik melalui tindakan
2. Adanya
sasaran / tujuan atau pemenuhan kebutuhan yang dilihat berbeda
3. Kecilnya
kemungkinan untuk pemenuhan kebutuhan yang dirasakan
4. Adanya
kemungkinan bahwa masing-masing pihak dapat menghalangi / menghambat pihak lain
dalam mencapai tujuannya
5. Adanya
saling ketergantungan (menurut Braiker dan Kelley)
Strategi Mengatasi Konflik
Adapun konflik yang kita hadapi,
konsentrasi pemikiran harus diarahkan kepada upaya bagaimana mengatasi konflik (yang
negatif) serta bagaimana memelihara konflik (yang positif). Dalam kaitan ini ,
bila kita terlibat dalam suatu konflik dengan orang lain ada dua hal yang harus
kita pertimbangkan (Supraktikya, 1995 : 99-100)
a. Tujuan
–tujuan atau kepentingan-kepentingan pribadi kita. tujuan-tujuan pribadi ini
dapat kita rasakan sebagai hal yang sangat penting sehingga harus kita
pertahankan mati-matian atau tidak penting sehingga dengan mudah kita korbankan
b. Hubungan
baik dengan pihak lain. Seperti tujuan pribadi, hubungan dengan pihak lain
dengan siapa kita berkonflik ini juga dapat kita rasakan sebagai hal yang
sangat penting atau sama sekali tidak penting.
Cara kita bertingkah laku dalam suatu
konflik dengan orang lain, akan ditentukan oleh seberapa penting tujuan-tujuan
pribadi dan hubungan dengan pihak lain kita rasakan. Berdasarkan dua
pertimbangan di atas dapat ditemukan lima gaya dalam mengelola konflik antar
pribadi (Jonhson, 1981)
a. Gaya
kura-kura. Konon, kura-kura lebih senang menarik diri bersembunyi di balik
tempurung badannya untuk menghindari konflik
b. Gaya ikan
hiu. Ikan hiu senang menaklukkan lawan dengan memaksanya menerima solusi
konflik yang ia sodorkan.
c. Gaya
kancil. Seekor kancil sangat mengutamakan hubungan dan kurang mementingkan
tujuan-tujuan pribadinya
d. Gaya
rubah. Rubah senang mencari kompromi. Baginya, baik tercapainya tujuan-tujuan
pribadi maupun hubungan baik dengan pihak lain sama-sama penting
e. Gaya
burung hantu. Burung hantu sangat mengutamakan tujuan-tujuan pribadinya
sekaligus hubungannya dengan pihak lain.
Dalam mengatasi atau menyelesaikan
konflik ini, peran komunikasi yang efektif sangat yang di perlukan. Artinya,
komunikasi dapat memainkan berbagai peran dalam kaitannya dengan urusan
konflik. Pertama komunikasi merupakan penjernih masalah di dalam hubungan yang
tidak beres. Kedua, komunikasi sebagai tempat mewujudkan konflik. Ketiga,
komunikasi sebagai sesuatu yang netral. Dengan kata lain, tindakan seseorang di
dalam berkomunikasi sering mengakibatkan timbulnya konflik. Namun di sisi lain,
tindakan komunikasi juga merupakan pantulan dari adanya konflik serta usaha
penanganannya (Robby Chandra, 1992:53).
Konsepsi kinerja dan produktifitas
Dalam ilmu dan praktek manajemen,
pengertian kinerja atau produktivitas belum memiliki satu arti yang disepakati.
Namun dari berbagai defenisi dan interpretasi mengenai produktivitas, Sumanth
(1984 : 7) mengemukakan tentang tiga bentuk dasar dari produktivitas,
yaitu:
1.
Produktivitas parsial (partial produktifity)
2.
Produktivitas total faktor (total factor
produktifity)
3.
Produktivitas total (total produktifity)
Filosofi mengenai produktivitas
sendiri mengandung arti adanya keinginan dan usaha dari masing-masing individu
dan unit-unit organisasi untuk meningkatkan mutu hidup dan kehidupannya. Dalam
hal ini produktivitas merupakan hasil yang dapat dicapai dari proses produksi
dengan menggunakan satu atau lebih faktor produksi.
Produkitivitas biasanya dihitung
sebagai indeks, yakni rasio output (keluaran) dibanding input (masukan) dan
dinyatakan dalam ukuran fisik (physical productivity) maupun ukuran
financial (financial produktivitas). Rasio antara output dengan input
tersebut menunjukkan jumlah keluaran yang diperoleh dari sejumlah masukan.
Makin besar nilai tersebut, berarti produktivitas makin tinggi (Ensiklopedi
Ekonomi, Bisnis dan Manajemen, 1992 : 210).
Dengan demikian konsepsi mengenai
produktivitas tidak hanya mengacu pada jumlah keluaran tetapi juga pada
berbagai faktor yang dapat mempengaruhi proses pencapaian produktivitas itu
sendiri. Jadi antara produktivitas, efisiensi dan efektifitas merupakan kesatuan
hubungan yang tidak dapat saling dipisahkan. Efektivitas berkaitan dengan upaya
mencari sasaran sedangkan efisiensi mengarah pada pemanfaatan sumber daya
secara maksimal.
Penerapan dan Pengukuran Produktivitas
Penerapan konsep produktivitas pada organisasi
sektor publik dan sektor privat atau bisnis menurut Balk seperti dikutip
oleh Kasim (1989 : 19) sangat berbeda, dimana konsepsi produktivitas
dalam organisasi sektor privat didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut:
1. Suatu
organisasi bisnis adalah suatu badan yang mampu menentukan nasibnya
2. Organisasi
yang produktif akan menyingkirkan organisasi yang kurang produktif
3. Organisasi
harus berkembang supaya dapat bertahan
4. Kesehatan
organisasi diukur berdasarkan gambaran keuntungan jangka pendek dan jangka
panjang
5. Kualitas
yang rendah akan menyebabkan kerugian
Jika pada sektor privat indikator yang
digunakan dalam mengukur produktivitas adalah tingkat keuntungan yang dicapai
maka produktivitas pada organisasi pemerintah lebih banyak diukur dari segi kualitas hasil yang dihasilkannya
kepada masyarakat, yaitu sampai seberapa jauh hasil tersebut sesuai dengan
standar yang diinginkan. Standar ini meliputi ciri-ciri dari output misalnya
berapa unit atau event yang dihasilkan, bagaimana jadwal penyelesaiannya (timeliness)
dan seberapa jauh kepuasan dari klien atau masyarakat yang dilayaninya. Dengan
kata lain, ada beberapa asumsi normatif yang dapat dijadikan sebagai pedoman
dalam memahami produktivitas organisasi sektor publik yaitu sebagai berikut:
1. Organisasi
(institusi) publik tidak sepenuhnya otonom tetapi dikuasai oleh faktor-faktor eksternal
2. Organisasi
publik secara resmi (menurut hukum) diadakan untuk pelayanan masyarakat
3. Organsasi
publik tidak dimaksudkan untuk berkembang atau menjadi besar dengan merugikan
organisasi publik yang lain
4. Kesehatan
organisasi publik diukur melalui
kontribusinya terhadap tujuan politik serta kemampuan mencapai hasil yang
maksimum dengan sumber daya yang tersedia
5. Kualitas
pelayanan masyarakat yang buruk akan memberi
pengaruh politik yang negatif (Kasim, 1989 : 20)
Selanjutnya berbicara masalah
produktivitas jelas tidak bisa dilepaskan dari pengukurannya (measurements).
Pengukuran produktivitas bertujuan untuk melihat tingkat perubahan produksi
barang dan jasa yang terjadi dalam kurung waktu tertentu. Menurut Sardjudin
(1995 : 124), pengukuran ini bersifat netral, artinya memberikan informasi
yang bermanfaat bagi tujuan analisis kemampuan kerja dan meneliti faktor-faktor
input maupun output tertentu yang menyebabkan kenaikan atau penurunan
produktivitas. Tingkat produktivitas ini dapat digunakan sebagai standar ukuran
efisiensi dan hasil analisis pengukuran dapat digunakan untuk memadu upaya
efektif dalam memperbaiki pengalokasian sumber daya.
Mengenai pengukuran produktivitas ini,
Sumanth (1984 : 57) membaginya kedalam empat level yaitu ukuran
produktivitas pada level internasional, level nasional, level industrial serta
level organisasi atau perusahaan. Namun dalam pembahasan thesis ini,
produktivitas pada level perusahaan atau organisasi dipandang paling relevan,
sehingga konsep produktivitas inilah yang akan dikaji lebih mendalam.
Strategi Peningkatan Kinerja
Masalah produktivitas ini sangat
berhubungan erat dengan masalah kinerja (permormance). Kinerja dalam
suatu organisasi dapat dikatakan meningkat jika memenuhi indikator-indikator
antara lain:
1. Quality of
work (kualitas hasil pekerjaan)
2. Promptness
(kelancaran dan ketetapan waktu)
3. Initiative
(prakarsa atau inisiatif)
4. Capability
(kecakapan atau kemampuan)
5. Communication
(komunikasi yang baik dan efektif) (Sedarmayanti 1995 : 53)
Dalam kerangka teoritis dan praktis
untuk mewujudkan kinerja tinggi (high performance) dari suatu kelompok
dalam organisasi, Gordon (1996 : 182-190) menawarkan beberapa strategi
yang terdiri dari:
1. penerapan
kegiatan membangun team (implementing team-building activities)
2. meningkatkan
proses kelompok (improving group procces)
3. membangun
kekuatan dari factor-faktor perbedaan dan lintas budaya (building on the
strengths of a diverse and cross-cultural work force)
4. mengurangi
konflik-konflik yang tidak diperlukan (reducing dysfunctional conflict)
Strategi implementing team-building activities
diawali dengan pengumpulan data-data tentang fungsi kelompok dalam organisasi
dengan menggunakan instrumen tertentu yang paling tidak dapat menjaring lima
aspek yakni:
1. misi
kelompok (team mission)
2. pencapaian
tujuan (goal achievement)
3. partisipasi
dan pemberdayaan (empowerment)
4. komunikasi
terbuka dan jujur (open honest communication)
5. analisis data
dan menerapkan hasil analisisnya kepada anggota kelompoknya
dari sini diharapkan setiap anggota kelompok
memilki pandangan tentang tingkat kinerja mereka saat ini sehingga dapat
menetapkan langkah berikutnya tentang acara membangun kinerja yang lebih baik.
Pada tahap berikutnya, strategi improving
group procces dapat dilakukan dengan memperbesar usaha-usaha anggota
kelompok, memberikan pengetahuan terhadap tugasnya secara memadai, serta
menggunakan cara yang tepat untuk memelihara kualitas tugasnya. Disamping itu,
upaya meningkatkan fungsi kelompok dapat ditempuh juga melalui pembentukan
konfigurasi yang tepat mengenai tujuan, norma, peran maupun struktur
organisasi. Dan terakhir, upaya untuk meyakinkan bahwa norma-norma yang dianut
akan menghasilkan efektivitas tinggi bagi kelompok juga menjadi kunci untuk
meningkatkan proses kelompok.
Strategi ketiga yang dikemukakan oleh Gordon
(1996 : 188) adalah membuat perbedaan-perbedaan dalam kelompok yang menyangkut
perbedaan usia, jenis kelamin, bahasa, kepercayaan maupun etnik / budaya
menjadi keunggulan (advantage) kelompok organisasi dan bukannya menjadi
penghambat. Beberapa keuntungan yang dapat dipacu dalam hal ini adalah :
1. increased
number of perspective
2. multiple
interpretations likely
3. greater
openness to new ideas
4. increased
flexibility and creativity
5. improved
problem solving
6. improved
understanding of foreign employess or customers
Adapun strategi keempat yang
disarankan untuk memacu kinerja adalah mengurangi atau menghilangkan
konflik-konflik yang akan menghambat fungsi kelompok atau fungsi organisasi.
Meskipun demikian, ada juga konflik yang dapat meningkatkan komunikasi serta
menggiring ke arah pemecahan masalah yang efektif sehingga konflik macam ini justru
dapat menjadi wahana untuk membentuk tim yang tangguh.
Perubahan & Pengembangan Organisasi
Apabila diperhatikan, maka
karakteristik organisasi terbuka mengisyaratkan bahwa organisasi selalu siap
untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian atau pengembangan (organizational
development). Menurut Henry (1988 : 86), pengembangan organisasi
tersebut dilaksanakn melalui intervensi yang penuh perhitungan atas kerja
organisasi yang aktif dengan menggunakan pengetahuan ilmu perilaku organisasi (organization
behavior).
Sementara itu, beberapa pakar organisasi lain
mengemukakan alasan penting bagi upaya pertumbuhan atau pengembangan organisasi
sebagai berikut:
1. mobilitas
para eksekutif. Organisasi yang mengalami pertumbuhan merupakan tempat bekerja
yang menarik bagi para eksekutif.
2. Keinginan
untuk menjadi lengkap (organization self-realization). Para pemimpin
organisasi umumnya mempunyai keinginan agar organisasinya menjadi lengkap,
mempunyai kegiatan yang lebih luas, dan mampu mencapai kemajuan (Starbuck).
3. Faktor
ekonomis. Pertumbuhan organisasi mampu membawa berbagai jenis keuntungan finansial.
4. Kemampuan
menjaga kelangsungan hidup (survival). Menjaga kelangsungan hidup
mungkin merupakan alasan yang paling utama dalam pertumbuhan organisasi.
Dalam pada itu, Albercht (1985 :
37-39) mengajukan tiga macam pendekatan baru terhadap pengembangan
organisasi yaitu:
1. Pendekatan
diffusion atau penyebaran
2. Lingkage
atau pertalian
3. Pendekatan
katalist
Konsep penyebaran berarti bahwa suatu
organisasi akan menerapkan tindakan, metode, atau prosedur yang bermanfaat,
jika ternyata organisasi yang lain telah menggunakannya dan nyata-nyata
menghasilkan kemajuan. Konsep pertalian dimaksudkan untuk mencari dukungan
orang-orang yang bersedia membantu di berbagai bagian strategis dalam
organisasi itu untuk bertindak sebagai penjual gagasan atau agen perubahan,
terutama dalam menganjurkan perubahan-perubahan khusus dan memperkenalkan
kebiasaan-kebiasaan baru. Adapun konsep katalis artinya merangkaikan kejadian
dalam program pengembangan organisasi melalui tahap-tahap:
1. entry
(keterlibatan konsultan)
2. sensing
(membangun kesan tentang budaya organisasi)
3. lock-on
(menentukan aspek yang memerlukan perubahan)
4. implementation
(pelaksanaan)
5. separation
(menghilangkan ketergantungan)
dalam kaitan ini terdapat dua cara adaptasi
yang dapat dilakukan oleh organisasi yaitu:
1. melalui
perubahan internal yaitu dengan menyesuaikan struktur internal oranisasi, pola
organisasi, perencanaan dan aspek internal lainnya terhadap karakteristik
lingkungan.
2. Berusaha
untuk menguasai dan mengubah kondisi lingkungan sehingga menguntungkan bagi
organisasi.
Langganan:
Postingan (Atom)